Simpang Dago |
Untuk Dago, kembali akan diantar oleh Te, karena Elin dapet giliran rehat...^^ Salah satu tempat, atau boleh disebut kawasan yang cukup ternama dan menjadi ikon Kota Bandung adalah kawasan Dago, Jalan Dago atau disebut Dago saja. Jika startnya dari Museum Geologi menuju ke kawasan Dago tidak terlalu jauh kawan, tinggal menyebrang saja dari Museum Geologi, lalu ambil angkot jurusan Cicaheum – Ledeng (nyebrang dulu ya, kalau tidak nyebrang tidak akan pernah kalian melihat Dago ^^). Nah, karena berupa kawasan, jadi bingung neh, menceritakan apanya tentang Dago ini, tentang apa saja yang ada di Dago, sejarah Dago atau apa ini? Biar sah bicara tentang sejarahnya dulu lah.. :)
Kami kutip dari blog wisatadanbudaya.blogspot.com, dulunya, Dago sebenarnya adalah kawasan elite yang hanya diperuntukkan bagi para Meneer-Meneer Belanda sebagai tempat tinggal mereka, sedangkan bagi para pribumi, Dago hanyalah tempat berkumpul dan saling menunggu satu sama lain untuk berangkat bersama-sama ke kota di daerah Selatan. Dago berada di sekitar 5 km arah Utara dari pusat Bandung, dengan luas wilayah sekitar 6000ha dan berada di ketinggian antara 690 – 730 dpl.
Kata “Dago” berasal dari bahasa Sunda, yaitu “Dagoan” yang artinya “tunggu atau menunggu”. Sebagaimana telah diuraikan di atas, bagi para pribumi yang menggunakan bahasa Sunda, kawasan ini sebagai tempat menunggu rekan-rekan yang lain untuk kemudian berangkat bersama-sama ke wilayah Selatan. Kenapa mereka saling menunggu? (pertanyaan bagus, dan kelewatan kalau kawan-kawan sekalian ga bertanya :p). dahulu, kawasan ini adalah hutan belantara yang sepi dan rawan binatang buas, sisa-sisa hutannya mungkin masih dapat dijumpai di wilayah Dago Atas dan Dago Pakar tempat Taman Hutan Rakyat (TAHURA) Ir. H. Djuanda, oleh karena itu, para pribumi yang hendak pergi ke pasar atau ke kota di wilayah Selatan (Alun-Alun) cari mati kayaknya kalo berangkat sendirian, makanya mereka saling menunggu (Padago-dago) satu dengan yang lain untuk kemudian berangkat bersama-sama. Umumnya mereka menunggu di kawasan Terminal Dago sekarang dan Simpang Dago.
Menurut buku Haryono Kunto, “Semerbak Bunga di Bandung Raya”, pada abad 19, disekitar Simpang Dago dan ITB adalah kawasan hutan belantara yang sepi. Jalannya belum bisa dilewati kendaraan, oleh karena itu, penduduk yang hendak pergi ke pasar pada pagi-pagi buta biasanya saling menunggu satu sama lain agar dapat pergi dalam bentuk rombongan. Selain itu, rombongan tersebut juga dilengkapi dengan persenjataan parang dan tombak untuk berjaga-jaga dari serbuan para perampok yang juga kerap beroperasi di kawasan ini.
Pada tahun 1810, Jalan Dago masih berupa jalan setapak, baru pada tahun 1900 – 1914, ketika pemerintah Hindia Belanda mengadakan pembangunan di Bandung, kawasan Dago mulai dibangun, salah satu bangunan yang masih bertahan sampai saat ini adalah rumah peristirahatan Andre van der Brun, yang lokasinya berada di sebelah Hotel Jayakarta, Dago Atas. Rumah-rumah elite di sekitar kawasan ini umumnya memiliki atap yang curam karena disesuaikan dengan curah hujan yang tinggi. Selain itu, halaman rumah mereka terbentang luas dipenuhi rerumputan tertata rapi. Tinggi bangunannya sendiri tidak melebihi dua tingkat, dengan begitu cahaya dan udara dapat leluasa masuk ke dalam rumah.
Pembangunan kawasan Dago sudah dimulai pada tahun 1910, seiring dengan keinginan pemerintah Gemeente Bandoeng (Kotamadya Bandung) untuk memperluas wilayah administrasinya ke arah Utara. Pembangunan dan pengerasan jalan Dago sampai ke Hutan Pakar bersamaan dengan usaha membangun pengolahan air minum di Bukit Dago (PDAM sampai sekarang). Pembangunan Dago menggunakan konsep Garden City sebagai jawaban atas revolusi industri yang melahirkan praktik kolonialisme di negara-negara penghasil bahan mentah.
Garden City memperhitungkan keseimbangan alam dengan ditanaminya pohon-pohon berakar kuat di sepanjang Jalan Dago. Badan jalan sebelah Timur dari ruas persimpangan Pasar Simpang (Simpang Dago) sampai simpang Cikapayang (Fly over) dikhususkan bagi pejalan kaki, sedangkan sebelah Barat diperuntukkan bagi kendaraan yang waktu itu didominasi kereta kuda dan sepeda. Kawasan inilah yang dulu bernama Dago Straat. Pada tahun 1950, aset-aset milik Belanda dinasionalisasi, Dago Straat berubah menjadi Dago, dan rumah-rumah tuan tanah Belanda mulai ditinggalkan.
Sepuluh tahun setelahnya (1960) mulai terlihat banyak anak-anak muda nongkrong, umumnya anak-anak muda terpelajar mahasiswa ITB dan UNPAD (sekarang bertambah sebagai tempat nongkrong tidak hanya anak ITB dan UNPAD tapi hampir semua anak muda nongkrong disitu, apalagi malam minggu,,,oooh dari sini tradisi itu dimulai :p). Dago memiliki daya tarik tersendiri. Sepuluh tahun setelah tahun 1960 (tahun berapa hayoo??, bunuh diri ajalah kalau ga tau ^^), jalanan sebagai tempat nongkrong itu berubah menjadi menarik dengan banyaknya tukang jualan makanan, salah satunya yang terkenal adalah roti bakar. Dan pada tahun inipula, Jalan Dago berubah nama menjadi Jalan Ir. H. Djuanda sampai sekarang.
Baiklah, setelah kita tahu sejarahnya, paling tidak kita tahu satu hal, apapun nama jalannya, Dago tetaplah Dago. Sampai sekarang, ketika orang menyebut nama Jalan Ir. H. Djuanda, kontan kita tahu yang dimaksud adalah Dago. Tapi yang bikin bingung ketika ada yang nanya “Dago dimana?” setengah mati kita menjelaskan, bahwa mulai dari simpang Jalan Merdeka (deket BIP/ Hollanda Bakery) ke Utara luruuuuuuuuuuus aja, tak peduli berapa kali persimpangan dilewati masih tetap Dago aja sampai ke bukit dan hutan sana. Nah, kita kembali ke alam nyata, tadi ketika kita naik angkot Cicaheum – Ledeng kita akan melewati Jalan Dago yang ternama ini, tepatnya kita akan melewati melalui persimpangan Jalan Maulana Yusuf dan Sulanjana. Mau turun disitu? Boleh, ikuti kami...^^ (lupa, tarifnya Rp.1500 aja, inget, uang pas^^).
Nah turunlah kita disini, di persimpangan Sulanjana (itu biasanya yang dikenal sama orang). Tengok kiri-tengok kanan, mau kemana kita dan ada apa sajakah disana. Kita mulai dengan menengok ke kiri. Pas disamping simpang ini ada Factory Outlet/ FO (bagi yang demen belanja silahkan mampir dulu), kalau belum puas masih banyak lagi nanti..^^. Berderet-deret disitu akan kami rangkum saja ya, selain FO, ada toko Ponsel yang lumayan miring harganya (katanya,,,atau bagi yang ga perduli harga tapi perduli kenyamanan dalam arti tidak ribet dan ramai, silahkan lihat-lihat disitu, disamping FO yang kami tunjukkan tadi, masih disamping simpang ini). Ada apa lagi? Bagi yang kelaparan ada banyak pilihan menu makanan waralaba disini, mulai dari Pizza Hut, Hanamasa, KFC, Gampong Aceh, menu makanan di Dago Plaza (sekaligus nongkrong) atau nongkrong gaya kami di kaki lima dengan menu andalan mie instan atau jagung bakar plus kopi..^^, silahkan dipilih.
De Driekleur |
Masih menengok ke kiri ini ya, ada satu landmark Bandung di sekitar sini, yaitu Gedung De Driekleur atau gedung tiga warna. Posisinya berada di sudut persimpangan antara Jalan Ir. H. Djuanda dan Jalan Sultan Agung. Gedung ini dibangun tahun 1938 dari hasil rancangan arsitek Belanda, AF. Albers. Ingat nama ini? Yak, Albers adalah arsitek yang turut membantu merenovasi gedung Merdeka/ Concordia yang dirancang oleh Wolff Schoemaker dan sampai sekarang masih difungsikan, sepintas lalu kami menebak ini bergaya Art Deco seperti bangunan-bangunan seuisanya, namun tidak, gedung ini bergaya Nieuw Bouwen semacam gaya arsitektur yang berkembang untuk melanjutkan generasi Art Deco. Ciri khas gaya ini adalah dengan aksen garis-garis Stream Line yang mengutamakan kesederhanaan tanpa banyak ornamen dekoratif (art deco lebih mengutamakan dekoratif).
Pada masa penjajahan Jepang, gedung ini dipergunakan sebagai kantor berita Domei, dan dari gedung inilah, untuk kali pertama Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan di Bandung. Saat ini, gedung ini disewa sebagai kantor Bank yang didominasi warna oranye, lebih mirip kantor pos dibanding sebuah bank sebenernya...^^. Bagi yang suka dengan Heritage Building sayang kalau dilewatkan. Setelah gedung tersebut jalan lurus akan ketemu dengan simpang jalan Riau, dan disinilah Jalan Dago berakhir untuk sektor kiri dan simpang Sulanjana. Estimasi jarak dari simpang Sulanjana ke Simpang Riau sekitar 500m.
Pasupati sore hari |
Sekarang kita menengok ke kanan. Yang langsung nampak adalah Fly Over yang menjadi ikon baru kota Bandung, disebut juga dengan Fly Over Cikapayang atau Jembatan Pasupati. Jembatan ini dibangun cukup efektif dan memperpendek jarak Jakarta-Bandung, karena ujung jembatan ini akan bertemu dengan Tol Pasteur yang akan membawa para penumpang lebih cepat, baik ke Cileunyi arah Timur maupun ke CIPULARANG arah Barat. Di bawah jembatan tersebut ada simpang lima, kalau ke kiri (Barat) ke arah Taman Sari, Balubur, kalau ke kanan (Timur) ke arah Surapati, Gedung Sate, kalau lurus (Utara) ke arah Dago atas, nah, satu lagi, kalau ke Timur Laut ke arah Jalan Dipati Ukur (Markas Besar MPK..^^). Tahukah kawan, walaupun ada lampu lalu lintas di sini, tapi percayalah, sangat semrawut keadaannya. Di simpang inipula terdapat taman (ntah taman apa namanya) yang terdapat huruf-huruf membentuk kata D.A.G.O (dulu berubah-ubah bentuknya, dari polkadot, bergaya futuristik sampai sekarang berwarna merah).
Setelah melewati simpang Cikapayang ini kiri-kanan kau lihat saja, banyak FO dimana-mana ^^. Bagi yang demen belanja, belanja sesi kedua bisa dimulai dari sekarang. Kalau lapar? Jangan kuatir, umumnya FO dilengkapi dengan cafe jadi silahkan berpuas belanja dan berkuliner. Lurus ke Utara di sebelah kanan jalan ada jalan bernama Hasanudin, di samping Rumah Sakit yang bernama Santo Boromeus adalah jalan menuju UNPAD, sedangkan sebelah kiri (didepan Rumah Sakit) terdapat jalan bernama Ganesha, itulah menuju ITB. Saking deketnya dengan Boromeus, kadang ITB disebut juga dengan Institut Tetangganya Boromeus...sori-sori, just kidding my bro...^^ sekedar informasi, Rumah Sakit Boromeus didirikan tahun 1921, ITB sudah ada sejak tahun 1920 (waktu itu masih bernama Technische Hoge School) sedangkan UNPAD baru lahir tahun 1957.
Setelah melewati Boromeus, Jalan Ganesha dan Jalan Hasanudin, kawan-kawan masih akan bertemu dengan beberapa FO dan hotel disekitar tempat ini sampai akhirnya bertemu dengan simpang Dago (apakah itu namanya??). Orang-orang lebih mengenal dengan Simpang Dago, padahal kalau ke kiri ke arah Jalan Sumur Bandung dan bisa ketemu dengan Jalan SIliwangi sedangkan kalau ke kanan ke arah Dipati Ukur. Simpang Dago karena setelah simpang ini kita akan bertemu dengan Pasar Simpang Dago, mungkin karena itu bernama Simpang Dago (ntah ah lieur...^^).
Jangan harap setelah simpang Dago ini sudah berubah nama jalannya, salah besar. Luruuus ke Utara masih bernama Jalan Ir. H. Djuanda, bahkan ketika sudah lewat terminal Dago dan jalanan mulai naik ke atas ke arah Bukit Dago Pakar, namanya masih Jalan Ir. H. Djuanda. Berapa km kah? Hitung sendiri....^^
Apa yang menarik di Dago Atas, Dago Pakar dan lain sebagainya? Kami ceritakan sedikit saja ya. Disekitar terminal Dago terdapat curug Dago, dimana disitu terdapat prasasti Raja Thailand yang pernah berkunjung ke sini (ngapain?? Meneketehe...^^ yang jelas Raja Thailand itu pernah berkunjung ke curug ini duluuuuuuuuuuuu sekali). Bagi yang suka, silahkan ditelusuri, kemudian terdapat peninggalan sejarah berupa Gua Jepang dan Gua Belanda yang termasuk dalam kompleks TAHURA, termasuk diantaranya curug Omas yang sudah masuk ke wilayah Maribaya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Wilayah Dago Atas/ Pakar ini sangat cocok buat kawan-kawan yang suka wisata alam, termasuk nyari tempat buat gathering atau outbond. Setidaknya terdapat 3 mungkin lebih curug (air terjun) dikawasan TAHURA ini. Sangat pas kalau dari TAHURA dilanjutkan wisatanya ke Lembang. Jadi kalau kawan-kawan naik terus ke atas, kemudian ambil jalan ke kiri (arah Ciburial) maka kawan-kawan akan berujung di Lembang, jika ke kanan akan ke TAHURA atau kembali memutar untuk turun yang ujung-ujungnya bisa sampai di Surapati. (Pengen nyeritain sebenernya, tapiiiii...laen kali aja ya...)
Sekian informasi mengenai Dago nya, insya Allah bersambung...^^
0 comments:
Post a Comment