Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma| Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat |

Alun - alun Kejaksan

Kalo dari Panjunan ke Alun-alun Kejaksan atau Balai Kota, rutenya seperti ini, dari arah tempat kita datang tadi kan ada perempatan (lokasi masjid Panjunan tepat berada di ujung perempatan), dari perempatan itu belok kiri, trus luruuus aja sampai nemu jalan besar trus belok kanan. Dari situ luruuuus aja sampai nemu perempatan jalan RA. Kartini, di kiri jalan itulah Alun-alun Kejaksan. Jaraknya kurang lebih 1 km an. Kami mendapatkan rute ini setelah bertanya bapak-bapak keturunan Arab yang sedang menikmati udara sore. Diakhir pembicaraan, bapak tersebut mengucapkan sesuatu yang membuat kami terharu, “ga mampir dulu de”, dan kami menjawab, “terima kasih pak, kami sedang berburu dengan waktu” dan bapak itupun tersenyum dengan sangat manis…^^

Apa yang kawan-kawan ketahui tentang Alun-alun Kejaksan, tempat bermain base ball sekelompok pelajar? Tempat latihan paskibra? Atau apa? Jujur kami tidak tau apa sebenarnya tentang Alun-alun ini sampai kami membaca sebuah tulisan di Pikiran Rakyat, bahwa Proklamasi Kemerdekaan Republik ini sebenarnya untuk kali pertama tidak di Jakarta, tapi di Cirebon. Bagaimana kisahnya berikut ringkasannya (kami kutip dari Pikiran Rakyat, pikiran-rakyat.com).

Tangal 14 Agustus 1945 pagi, di ruang bawah tanah, Sutan Syahrir dan sejumlah kawan mendengar siaran radio British Broadcasting (BBC) yang inti beritanya, Jepang berencana menyerah tanpa syarat kepada sekutu akibat pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Penyerahan akan dilakukan 15 Agustus 1945. Mendengar rencana tersebut, Sutan Syahrir bersama pemuda revolusioner lainnya seperti Sukarni, Chaerul Saleh dan Adam Malik langsung menggelar rapat tertutup. Hasil rapat dikirimkan melalui radiogram kepada rekan-rekan seperjuangan terutama para pimpinan PARAS (Partai Rakyat Sosialis) dan PNI (Partai Nasionalis Indonesia) atau PNI Pendidikan di Cirebon. Radiogram tersebut berisi agar para aktivis partai berhaluan sosial-demokrat tersebut diminta untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat, tepat ketika Kaisar Hirohito menyatakan menyerah tanpa syarat kepada sekutu tanggal 15 Agustus 1945, beberapa jam kemudian, di Alun-alun Kejaksan ini, sedikitnya 150 pemuda membacakan teks proklamasi yang menyatakan kemerdekaan Indonesia. (loh bukannya teks proklamasi menurut sejarah yang kita pegang selama ini menyatakan bahwa teks proklamasi masih diperdebatkan di Rengasdengklok tanggal 16 Agustus 1945 malam? Mana yang bener neh?, sabar, ikuti terus jalan ceritanya…^^)
Proklamasi di Cirebon dibacakan oleh dr. Soedarsono, Kepala Rumah Sakit Kesambi, sekarang menjadi Rumah Sakit Gunung Jati (ayah Prof. Dr. Juwono Soedarsono, menteri Pertahanan sekarang). Soedarsono adalah kader PNI binaan Syahrir yang menerima perintah langsung dari Jakarta. Naskah tersebut berbeda dengan yang dibacakan tanggal 17 Agustus 1945, naskah ini cukup panjang, mencapai tiga ratus kata (bandingkan dengan teks Proklamasi 17 Agustus 1945 yang tidak lebih dari 25 kata). Ada dua versi mengenai naskah proklamasi yang dibacakan Soedarsono, versi pertama, naskah tersebut disusun oleh Syahrir dan kawan-kawan seperjuangan di Jakarta lalu dikirimkan melalui telegram kepada Soedarsono. Versi kedua, teks tersebut disusun sendiri oleh Soedarsono disesuaikan dengan arahan Syahrir dari Jakarta. Soedarsono berani memprokamirkan kemerdekaan Indonesia karena mengira Syahrir dan kawan-kawan berhasil meyakinkan Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia (pada waktu itu Syahrir skeptis terhadap sikap Soekarno-Hatta setelah Jepang menyerah, ada kecenderungan Soekarno menunggu keputusan Jepang atas nasib Indonesia).
Proklamasi di Cirebon ini kurang mendapat apresiasi masyarakat secara luas, bahkan di Cirebon sendiri. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan adanya friksi ideologis di kalangan pemuda dan pejuang kemerdekaan sendiri. Soedarsono merupakan aktivis dalam Koperasi Rakyat Indonesia (KRI) yang berafiliasi dengan PNI Pendidikan pimpinan Hatta-Syahrir, di sisi lain, di Cirebon juga terdapat kelompok besar yang berafiliasi dengan PNI Partindo pimpinan Soekarno-Sartono. Terdapat juga kelompok besar bernama Barisan Pelopor yang dipimpin Sastrosuwirjo, barisan ini merupakan organ sayap Jawa Hokokai pimpinan Soekarno yang setelah kemerdekaan lebih dikenal dengan nama “Barisan Benteng”.

Nah, demikianlah kawan sedikit cerita tentang Alun-alun Kejaksan ini. Di seberang alun-alun ini terdapat masjid Jami’ Cirebon. Seperti halnya karakter alun-alun pada umumnya, alun-alun Kejaksan juga dilengkapi dengan masjid serta pemerintahan. Di Jl. Kartini terdapat bangunan yang klo tidak salah adalah kediaman Walikota atau apa ya itu, tidak ada papan penunjuknya si…yang jelas, dari keberadaan pasukan Pamong Prajanya , jelas bangunan tersebut bukan bangunan sembarangan. Paling tidak itu adalah gedung penting bagi Cirebon, awalnya kami mengira itu adalah Kantor Walikota (Balai Kota) tapi melihat bentuknya, kayaknya bukan karena tidak sesuai dengan bentuk Balai Kota yang kami ketahui.
Kami nyampe di Alun-alun ini sekitar pukul 16.00, kami nampaknya sudah tidak memungkinkan untuk ke Gua Sunyaragi karena pukul 17.00 paling lambat, kami sudah harus dalam bus yang mengangkut kami ke Bandung. Kami memperkirakan akan terjadi kemacetan di jalur Sumedang karena besok adalah hari libur, sehingga perjalanan yang sebetulnya 4 jam (seperti pada saat berangkat) bisa jadi lebih panjang. Oleh karena itu kalau kita ambil pukul 17.00 setidaknya pukul 22.00 kami sudah tiba di Bandung lagi. Baiklah, kita selesaikan dua bangunan di Jl. Siliwangi ini, Balai Kota dan Stasiun Kejaksan.

0 comments:

Post a Comment

Indonesia Barat