Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma| Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat |

Kraton Kanoman


Cirebon memiliki 3 buah Kraton, yaitu Kanoman, Kasepuhan dan Kacirebonan. Ketiganya merupakan Kraton yang dibuat karena intrik kekuasaan pada waktu itu. Dari ketiga Kraton tersebut, Kraton Kasepuhanlah yang konon paling terawat dan yang paling tidak terawat adalah Kraton Kanoman, permasalahan utamanya adalah dana, Kraton Kasepuhan paling terawat karena mendapatkan akses dana dan perawatan dari Pemerintah Kota Cirebon, sedangkan yang lainnya dirawat oleh kerabat kraton saja. Kami memulai perjalanan dari Kraton Kanoman.
Seperti halnya Kraton-kraton lainnya di Jawa, selain sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal sultan, Kraton merupakan pusat adat dan budaya. Kompleks Kanoman ini memiliki luas 6 ha dan lokasinya berada di tengah-tengah pemukiman penduduk dan di belakang pasar tradisional, sehingga lokasinya kurang dapat dikenali sebagai sebuah kraton yang memiliki sejarah panjang dan luar biasa. Tahukah kawan, bahwa di salah satu bangsal Kraton ini (Bangsal Witana) dua putra Prabu Siliwangi, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang pernah menimba ilmu agama di sini. Namun sisa-sisa kejayaan dan kemasyuran tersebut terkubur dalam sebuah bangunan kuno yang kurang terawat. Sekali lagi sayang, seribu kali sayang.

Kraton Kanoman berdiri tahun 1588, dapat terlihat dari prasasti yang tertera pada pintu Pendopo Jinem yang menuju Ruang Purbayaksa. Dalam prasasti tersebut terpahat gambar angka Surya Sangkala dan Candra Sangkala, matahari artinya angka 1, Wayang Darma Kusumah artinya angka 5, Bumi artinya angka 1 dan Bintang Kemangmang artinya angka 0. Jadi 1510 tahun saka jika dikonversikan dalam tahun masehi menjadi 1588. Kenapa dalam suatu pemerintahan muncul dua kepemimpinan? Kasepuhan dan Kanoman? Ceritanya berawal ketika Panembahan Ratu II (Panembahann Girilaya) meninggal dunia. Panembahan Girilaya (Panembahan Ratu II) merupakan cucu dari Panembahan Ratu I (Pangeran Emas), Panembahan Ratu I merupakan Putra tertua Pangeran Dipati Carbon, Pangeran Dipati Carbon merupakan putra Pangeran Pasarean Muhammad Tajul Arifin dan Pangeran Pasarean merupakan cucu Sunan Gunung Jati (Sultan Cirebon I). Bagi para ahli sejarah Cirebon mohon masukannya karena takut salah euy…bisa gaswat kalau salah urutannya…maap-maap ya kalau ada salah.
Setelah Panembahan Ratu II meninggal, Kesultanan Cirebon berada pada dilema dua kekuasaan, yaitu kekuasaan Sultan Amangkurat I (Mataram) I dan Kesultanan Banten. Panembahan Ratu II memiliki tiga orang putra, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya dan Pangeran Wangsakerta (kami kurang paham dari ketiganya siapa yang paling tua, menurut informasinya, Pangeran Wangsakerta adalah yang paling muda). Pangeran tertua justru dinobatkan memerintah Kanoman dan Pangeran nomor dua memerintah Kasepuhan. Sultan Kanoman bergelar Sultan Kanoman I (Sultan Badridin) sedangkan di Kasepuhan bergelar Sultan Sepuh Abil Makarim. Bagaimana nasib anak terakhir? Anak terakhir bukan sebagai sultan, tapi sebagai Panembahan Kacirebonan dengan gelar Panembahan Tohpati. (lagi-lagi mohon masukannya kalau ada yang salah kawan…^^).
Kami sampai di Keraton Kanoman ini kurang lebih pukul 11.30, sempat heran juga, apakah Kraton ini terbuka untuk umum atau gimana, karena ketika kami memasuki kompleks keraton tidak ada yang menyambut kami (emang siapa kalian mesti disambut, hehehe), malah kompleks ini menjadi arena bermain anak-anak dari perkampungan sekitar Kraton. Suddenly tiba-tiba, ada akang-akang kalem yang nyamperin, “mau lihat-lihat?”, o jelas kang. Dan akang itulah yang mengantar kami. Si Akang mohon maaf karena bukan guide yang sebenarnya, akang itu Cuma salah satu kerabat di keraton ini, guide yang asli sedang sibuk mengurus acara 1 Muharam yang waktunya hampir bertepatan dengan Dirgahayu Cirebon yang serentak dilaksanakan tanggal 18 Desember 2009. OMG, kami salah jadwal ternyata, karena pada tanggal-tanggal tertentu seperti 1 Muharam, Maulid Nabi dan Dirgahayu Cirebon, kraton-kraton akan menyelenggarakan upacara-upacara adat. Tapi tak apalah, yang penting kami sudah sampai di Cirebon ini.

Akang tersebut (yang kami lupa untuk bertanya nama, alamat dan nomor telponnya, hahaha) mengantar kami ke dalam gedung utama di mana Sultan bertahta (maaf kawan-kawan, kami lupa namanya…^^). Kalau dilihat dari ukurannya, Kraton ini tergolong kecil, tapi dari nilai sejarah sangat besar maknanya. Di belakang kraton ini juga terdapat sebuah situs yang namanya witana yang dalam bahasa Jawa wit itu adalah asal mula dan ana berarti ada, yang artinya asal mula/ cikal bakal. Cikal bakal apa? Kawan-kawan akan terkejut setelah mengetahuinya, ternyata itu adalah asal mula Kota Cirebon (jreng..jreng..^^). Sebagaimana disampaikan pada segmen sejarah Cirebon, Pangeran Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang-alang membabat hutan untuk menjadi dukuh Tegal Alang-alang. Mungkin disinilah tepatnya. Tapi kami tak sempat kesana…T_T. Di sebelah kiri gedung ini terdapat lonceng kuno yang dulu berfungsi untuk mengumpulkan warga. Ini yang sedikit aneh menurut kami, dalam tradisi Islam (karena Cirebon merupakan kesultanan dan pusat penyebaran Islam) pada umumnya sarana yang dipergunakan adalah bedhug yang berada di masjid-masjid, tapi ini justru lonceng. Nama lonceng itu adalah Gajah Mungkur (kaya nama waduk aja), konon lonceng ini adalah pemberian dari Gubernur Raffles saat menguasai Hindia Belanda .
Di dalam kompleks Kanoman ini juga terdapat museumnya. Museum ini bernama Gedung Museum Kraton Kanoman. Kalau masuk kompleks Kraton tadi gratis, tapi yang ini harus bayar. Tiket masuknya Rp.3.000. Koleksi utama museum ini kalau boleh kami katakan adalah tiga kereta kerbau (dulu menggunakan kerbau bule, karena susah akhirnya diganti dengan kuda). Dari tiga kereta tersebut, dua diantaranya asli (untuk sultan satu dan permaisuri satu), satunya replika (dibuat oleh kawan-kawan mahasiswa ITB sehubungan adanya festival kraton se Indonesia di Cirebon beberapa tahun yang lalu). Dua kereta tersebut bernama Paksi Naga Liman dan Jempana. Jempana berasal dari kata "Jemjeming Pangagem Manahayang" yang artinya teguh dalam hati. Ini lagi satu yang unik dan khas Cirebon, apakah itu?, sawer. Bahkan untuk kereta dan kursi tempat pernikahan sultanpun diberikan saweran oleh para pengunjung. Ada yang bilang untuk berkah dan lain sebagainya. Tapi bagi kami, sawer tersebut silahkan saja dengan maksud bagi perawatan museum ini agar tetap terjaga dan terpelihara sebagai warisan budaya. Tidak hanya di Yogya yang sarat akan mitos dan mistis, di Kraton inipun serupa, terlihat dari masih banyaknya kemenyan dan bunga-bunga yang ditebarkan di bawah kereta dan situs-situs lainnya.

Kami ingin cerita tentang Paksi Naga Liman ini, kereta ini merupakan kereta hybrida budaya, yaitu Islam, Hindu dan Cina. Islam diwakili dengan sayap (implementasi dari bouraq, burung tunggangan Nabi Muhammad dalam peristiwa Isra’ Mi’raj), Hindu diwakili dengan gajah (ganesha) dan Cina diwakili dengan naga (walaupun yang terlihat hanya tanduknya saja), oleh karena itu namanya Paksi (burung) Naga (naga) Liman (gajah). Kenapa Cina bisa masuk sebagai salah satu budaya yang erat di Cirebon (terlihat juga dari arsitek-arsitek serta peninggalan berupa keramik-keramik dan seni keramik tempel yang ada di dalam museum), hal ini tak lain tak bukan adalah, karena salah satu istri Sunan Gunung Jati atau Syarief Hidayatullah adalah putri Cina yang bernama Ong Tien, putri Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming. Kalau dilihat dari sisi sejarah, Cirebon memang penuh dengan akulturasi budaya, Sunan Gunung Jati sendiri babe nya Sultan Mesir, Syarief Abdullah, bundanya putri Prabu Siliwangi, Lara Santang. Salah satu istrinya orang Cina, Ong Tien, putri Kaisar pula. Wajarlah kalau Cirebon kemudian menjadi besar karena peradaban mereka sangat tinggi (tak ada yang meragukan peradaban Mesir dan Cina pada waktu itu, bahkan jauuuuuuh sebelumnya). Tapi seperti halnya tragedi-tragedi lainnya, kebesaran suatu bangsa akan musnah oleh keserakahan mereka sendiri. Munculnya Kanoman sebagai tandingan Kasepuhan adalah salah satu biang runtuhnya Cirebon. Sayang, seribu kali sayang.
Kami secara terpaksa menyudahi kunjungan di Kanoman ini, ada dua hal terutama, pertama, jam menunjukkan pukul 12.30 (kami sudah melenceng dari jadwal yang ditetapkan), kedua mendung sudah pekat bergelayut siap mengguyur kami. Akhirnya dengan menempelkan uang Rp.20.000 (sebagai ucapan terima kasih kami pada akang yang mengantar kami) kami bersalaman dan berpamitan sama akang untuk melanjutkan ke lokasi berikutnya, Kraton Kasepuhan. Akangpun menunjukkan jalannya. Keluar gerbang belakang, lewat perkampungan belok kiri, terus belok kanan ketemu jalan raya, kemudian belok kiri, luruuuuus aja sampai ketemu perempatan belok kanan. Di sanalah lokasi Kraton Kasepuhan dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Jaraknya kurang lebih 500 meter an.

0 comments:

Post a Comment

Indonesia Barat