Catatan Perjalanan 14 November 2009
Hmmmm mulai dari mana ya..mmm..ehm..ehm, yak kita mulai. Saat itu tanggal 14 November 2009 tiga orang sakti (satu personil –deden- mendadak tidak bisa ikut, karena ada urusan mendadak, semuanya serba mendadak gitu deh) lengkap dengan kakinya yang kuat menjejakkan kaki di Cianjur. Sebuah kabupaten di Propinsi Jawa Barat. Ibukotanya adalah Cianjur. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta di Utara, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut di timur, Samudra Indonesia di selatan, serta Kabupaten Sukabumi di barat. Cuaca yang menyambut kami cukup panas (fiuhhh,meleleh cuy) tapi mau panas kek, dingin kek, beku kek petualangan lanjut teruuuuuss. Atmosfernya menyenangkan, karena Cianjur kabupaten yang sangat ramah, penduduk kebanyakan berbicara menggunakan bahasa sunda yang sangat halus. (OMG, kita yang fasihnya bahasa sunda pasaran jadi keder cuy..tertohok rasanya..). Mulai dari tukang becak, supir angkot, mamang penjual gorengan, ibu penjual ind***e, semuaaanya te o pe be ge te.
Catatan ini kami urutkan sedemikian rupa biar enak di bacanya,
Sejarah Cianjur
Rute Perjalanan
Istana Presiden dan Situs Gunung Padang
Kantor DPRD, Kantor Bupati dan Alun – alun Cianjur
Masjid Agung Cianjur
Stasiun Cianjur
Bermula di Rawabango berakhir pula di Rawabango
Demikian daftar isi kali ini, selamat berpetualang….
Sejarah Cianjur
Sebelum panjang lebar diceritakan mengenai apa aja yang ada di Cianjur, ada baiknya kita take a good look bentar mengenai sejarah kabupaten yang ramah ini. Karena kata Pak Karno bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. (bener kan ya begini ucapannya?? peace..Pak Karno)
Tiga abad silam merupakan saat bersejarah bagi Cianjur. Karena berdasarkan sumber - sumber tertulis , sejak tahun 1614 daerah Gunung Gede dan Gunung Pangrango ada di bawah Kesultanan Mataram. Tersebutlah sekitar tanggal 12 Juli 1677, Raden Wiratanu putra R.A. Wangsa Goparana Dalem Sagara Herang mengemban tugas untuk mempertahankan daerah Cimapag dari kekuasaan kolonial Belanda yang mulai menanamkan kuku-kukunya di tanah nusantara. Upaya Wiratanu untuk mempertahankan daerah ini juga erat kaitannya dengan desakan Belanda/ VOC saat itu yang ingin mencoba menjalin kerjasama dengan Sultan Mataram Amangkurat I.
Namun sikap patriotik Amangkurat I yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda/ VOC mengakibatkan ia harus rela meninggalkan keraton tanggal 12 Juli 1677. Kejadian ini memberi arti bahwa setelah itu Mataram terlepas dari wilayah kekuasaannya.
Pada pertengahan abad ke 17 ada perpindahan rakyat dari Sagara Herang yang mencari tempat baru di pinggir sungai untuk bertani dan bermukim. Babakan atau kampoung mereka dinamakan menurut menurut nama sungai dimana pemukiman itu berada. Seiring dengan itu Raden Djajasasana putra Aria Wangsa Goparana dari Talaga keturunan Sunan Talaga, terpaksa meninggalkan Talaga karena masuk Agama Islam, sedangkan para Sunan Talaga waktu itu masih kuat memeluk agama Hindu.
Aria Wangsa Goparana kemudian mendirikan Nagari Sagara Herang dan menyebarkan Agama Islam ke daerah sekitarnya. Sementara itu Cikundul yang sebelumnya hanyalah merupakan sub nagari menjadi Ibu Nagari tempat pemukiman rakyat Djajasasana. Beberapa tahun sebelum tahun 1680 sub nagari tempat Raden Djajasasana disebut Cianjur (Tsitsanjoer-Tjiandjoer).
Sebagaimana daerah beriklim tropis, maka di wilayah Cianjur utara tumbuh subur tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Di wilayah Cianjur Tengah tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa dan buah-buahan. Sedangkan di wilayah Cianjur Selatan tumbuh tanaman palawija, perkebunan teh, karet, aren, cokelat, kelapa serta tanaman buah-buahan. Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan antara lain obyek wisata pantai yang masih alami dan menantang investasi.
Filosofi Cianjur
Cianjur memiliki filosofi yang sangat bagus, yakni ngaos-mamaos dan maenpo yang mengingatkan tentang 3 (tiga) aspek keparipurnaan hidup. Ngaos adalah tradisi mengaji yang mewarnai suasana dan nuansa Cianjur dengan masyarakat yang dilekati dengan keberagamaan. Citra sebagai daerah agamis ini konon sudah terintis sejak Cianjur ada dari ketiadaan yakni sekitar tahun 1677 dimana tatar Cianjur ini dibangun oleh para ulama dan santri tempo dulu yang gencar mengembangkan syiar Islam. Itulah sebabnya Cianjur juga sempat mendapat julukan gudang santri dan kyai. Bila di tengok sekilas sejarah perjuangan di tatar Cianjur jauh sebelum masa perang kemerdekaan, bahwa kekuatan-kekuatan perjuangan kemerdekaan pada masa itu tumbuh dan bergolak pula di pondok-pondok pesantren. Banyak pejuang-pejuang yang meminta restu para kyai sebelum berangkat ke medan perang. Mereka baru merasakan lengkap dan percaya diri berangkat ke medan juang setelah mendapat restu para kyai. Mamaos adalah seni budaya yang menggambarkan kehalusan budi dan rasa menjadi perekat persaudaraan dan kekeluargaan dalam tata pergaulan hidup. Seni mamaos tembang sunda Cianjuran lahir dari hasil cipta, rasa dan karsa Bupati Cianjur R. Aria Adipati Kusumahningrat yang dikenal dengan sebutan Dalem Pancaniti. Ia menjadi pupuhu (pemimpin) tatar Cianjur sekitar tahun 1834-1862.
Setelah dongeng singkat baru kami ceritakan perjalanan kami di Cianjur bersemi ini. Mulai dari wisata sejarah sampai pada wisata MPK (he..he narsis). Sobat sungguh banyak sebenarnya tempat yang dapat kita kunjungi di Cianjur, tapi sayang disayang karena waktu kami hanya satu hari maka sidang pleno kami memutuskan hanya menjangkau tempat-tempat yang memungkinkan untuk dikelilingi dalam satu hari, so jadinya hanya wisata pusat kota. (besok-besok disempetin deh ke objek yang lain yah).
0 comments:
Post a Comment