Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma| Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat |

Masjid Tegal Kalong

Masjid Tegal Kalong
Berangkat dari makam Cut Nyak Dien kami kembali berjalan kaki, belok kiri, belok kiri, belok kanan nyampe di simpang jalan kalo ke kiri ke arah Bandung kalau kekanan ke arah alun-alun Sumedang. Sebetulnya bisa jalan kaki sekalian liat-liat Sumedang sore hari, tapi ngejar waktu euy, akhirnya naik angkotlah kami (ssssst…jangan bilang-bilang komunitas pejalan kaki yang lain yak…^^). Angkot yang kami tumpangi masih jenis yang sama dengan yang membawa kami dari Bandung ke Sumedang. Aturan pertama sebelum naik angkot, tanya abang sopirnya, “ke Masjid Tegal Kalong kang?”, segitu bilang iyya langsung kita serbu angkotnya. Dengan ongkos Rp. 2.500,- udah nyampe pas depan Masjid Tegal Kalong dalam waktu 15 menit. Nyampe di masjid sekitar pukul 16.00, sholat dulu lah.


Sayangnya masjid ini sudah banyak dipugar, sehingga bentuk aslinya kami sudah tidak bisa tau. Di depan masjid ini, tepatnya depan sebelah kanannya ada kantor Kecamatan Sumedang Utara yang dulunya adalah Pendopo Kabupaten pada masa Pangeran Aria Soeriadiwangsa. Sepintas orang seperti kami tidak akan pernah tahu, bahwa Masjid ini memiliki sejarah yang panjang dan membawa mitos sampai Sumedang modern saat ini. Begini ceritanya.

Pada awal Oktober 1678, Banten menyerang Sumedang untuk kali kedua setelah yang pertama melakukan penyerangan tanggal 10 Maret 1678. Pasukan Banten berisi pasukan gabungan Bali dan Bugis dimana sebelumnya mereka telah berhasil merebut daerah-daerah yang dikuasai Sumedang di pantai utara, Ciparigi, Ciasem dan Pamanukan. Pada awal bulan Ramadhan pasukan gabungan tersebut telah berhasil mengepung Sumedang, dan tepat pada Hari Raya Idul Fitri, pada hari Jum’at tanggal 18 Oktober 1678, pasukan Banten di bawah pimpinan Cilikwidara dan Cakrayuda menyerang Sumedang ketika Pangeran Panembahan beserta rakyatnya sedang melakukan Sholat Ied di Masjid Tegal Kalong. Akibat serangan ini, banyak kerabat Pangeran yang meninggal, begitu juga masyarakat Sumedang, namun Pangeran Panembahan berhasil melarikan diri ke Indramayu. Setelah Sumedang lepas dari Banten karena konflik internal Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji, pada tanggal 27 Januari 1681, Pangeran Panembahan memindahkan pemerintahan dari Tegalkalong ke Regolwetan.

Berdasarkan tragedi tersebut, sampai sekarang Bupati Sumedang tidak diperkenankan untuk melakukan Sholat Ied di Sumedang ketika Idul Fitri jatuh pada hari Jumat. Bupati harus Sholat Ied di luar Sumedang. Menarik bukan? Sangat menarik cerita-cerita seperti itu, harus dilestarikan, bukan apa-apa si, Cuma legenda ceritanya patut diketahui oleh kita-kita yang masih muda ini.

Nah, begitulah cerita perjalanan di Sumedang, masih baaaaanyak yang perlu dikunjungi, antara lain Benteng Gunung Palasari dan Gunung Kunci, pohon Hanjuang dalam cerita Jaya Prakosa dan lain sebagainya. Kunjungan berikutnya siap untuk dilaporkan…

0 comments:

Post a Comment

Indonesia Barat