Catatan perjalanan 15 Mei 2009.
Perjalanan di mulai dari Sumedang, salah satu sisa kerajaan besar di Jawa bagian barat. Kenapa Sumedang? Ga ada alasan khusus si (jadi sepertinya ga perlu dibahas ya, haha) cuma, dulu pernah lewat Sumedang waktu mau ke Kuningan, kayaknya seru juga kalo dimulai dari Sumedang, sekalian mampir ke saudara muda, Padjadjaran kampus Jatinangor, ^^…
Sejarah Sumedang
Baiklah, dimulai dengan sejarah Sumedang. Kabupaten Sumedang yang sekarang kita kenal, dulunya adalah sebuah kerajaan, salah satu kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-15 Masehi. Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor.
Nama Sumedang pada Kerajaan Sumedang Larang mengalami beberapa perubahan. Pertama, yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tadjimalela atau yang dikenal dengan Prabu Agung Resi Cakrabuana, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya (dalam bahasa Jawa, larang berarti mahal). Kerajaan Sumedang mengalami beberapa kali periode kepemimpinan mulai dari kepemimpinan yang berdaulat (merdeka), kepemimpinan di bawah Mataram, kepemimpinan di bawah VOC sampai kemerdekaan Republik Indonesia dan berganti menjadi Kabupatian.
Secara singkat, berikut riwayat Kerajaan Sumedang Larang. (disarikan dari beberapa sumber yang kami percaya, kalau kawan-kawan ga percaya juga ga maksa, ^^). Ehm, cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang didirikan oleh Prabu Guru Aji Putih yang merupakan putra Aria Bima Raksa (Patih Kerajaan Galih Pakuan). Prabu Guru Aji Putih memberikan nama Kerajaan yang didirikan tersebut dengan nama Tembong Agung di kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Prabu Guru Aji Putih menikah dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten) dan memiliki 4 (empat) orang anak, pertama, Batara Kusumah a.k.a. (alias) Batara Tuntang Buana a.k.a. Prabu Tadjimalela; kedua, Sakawayana a.k.a. Aji Saka; ketiga, Haris Darma; dan keempat, Jagat Buana a.k.a. Langlang Buana.
Singkat cerita, Kerajaan Tembong Agung dilanjutkan oleh Tadjimalela, tapi diganti namanya menjadi Himbar Buana yang artinya menerangi alam. Kemudian karena peristiwa alam (pada saat bertapa di kaki gunung Cakrabuana tiba-tiba langit menjadi terang benderang oleh cahaya melengkung seperti selendang selama tiga hari tiga malam), nah tiba-tiba terucap kata, Ingsun Medal Ingsun Madangan yang artinya, aku lahir, aku memberi penerangan (pencerahan mungkin ya…^^), nah ramailah ya dibicarakan oleh warga setempat ucapan Tadjimalela tersebut, namun karena kepanjangan disingkat jadi jargon (ups, yang ini kami sendiri yang cerita yak, boleh ga dipercaya), yang awalnya ingsun medal, ingsun madangan jadi Ingsun madangan, dan akhirnya sampai ketelinga orang keseribu jadi sun madang, sampai ketelinga orang ke dua ribu jadi sumedang deh…^^ (kurang lebih begitulah singkatnya, silahkan dicek di google, atau buku-buku sejarah da’ kalo ga percaya…^^).
Kerajaan Himbar Buana akhirnya mentransformasi identitasnya menjadi Sumedang Larang dan Tadjimalela, atau Prabu Agung Resi Cakrabuana melimpahkan kewenangannya kepada putranya Prabu Gajah Agung sebagai Raja Sumedang Larang ketiga (Prabu Aji Putih dianggap yang pertama, Prabu Tadjimalela yang kedua, pas kan kalau putranya jadi yang ketiga, masih menurut sumber ya, bukan ngarang…^^). Berturut-turut setelah itu dilanjutkan oleh putranya, Wirajaya a.k.a Jagabaya a.k.a Prabu Pagulingan. Dilanjutkan lagi oleh Sunan Guling a.k.a. Mertalaya, kemudian digantikan oleh Tirtakusuma a.k.a. Sunan Tuakan kemudian digantikan oleh putrinya, Ratu Sintawati a.k.a. Nyi Mas Patuakan. Pada masa ini Islam mulai menyebar luas.
Setelah Nyi Mas Patuakan, Sumedang dipimpin kembali oleh seorang Ratu, yaitu Ratu Inten Dewata yang setelah menjadi Ratu bergelar Ratu Pucuk Umun, kemudian digantikan oleh suaminya, Pangeran Santri yang setelah dinobatkan menjadi Raja bergelar Pangeran Kusumadinata. Pangeran Santri merupakan raja Sumedang pertama yang menganut agama Islam. Dari perkawinan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun lahirlah Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun. Pada masa kepemimpinan Pangeran Santri kerajaan Pajajaran jatuh ke tangan Kesultanan Surasowan Banten, sampai akhirnya Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante (apa ya, kira-kira orang penting pembawa pesan kerajaan Pajajaran mungkin ya) yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu a.k.a. Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya, Sangiang Kondanghapa dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran untuk diserahkan pada penguasa Sumedang Larang. Pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya dinobatkan sebagai Raja Sumedang bergelar Prabu Geusan Ulun. Prabu Geusan Ulun adalah raja terakhir Sumedang sebelum berganti menjadi Kabupatian karena berada di bawah kekuasaan Mataram pada tahun 1620. Sejak saat itu Sumedang menjadi Kabupatian sampai saat ini menjadi Kabupaten Sumedang. Sumedang Larang sekarang menjadi Kabupaten Sumedang dengan luas wilayah 1.522,21 km² yang terdiri dari 28 kecamatan.
0 comments:
Post a Comment