Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma| Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat |

Cirebon

Catatan perjalanan 17 Desember 2009
Perjalanan kami sampai di kota Cirebon kawan, sebagai perjalanan penghujung tahun 2009 ini, kami secara khusus merencanakan untuk singgah di kota pesisir utara pulau Jawa, kota yang penuh dengan sejarah kebesaran sebuah kota pelabuhan, kota yang pernah menjadi sentral perdagangan dan penyebaran agama Islam di nusantara. Kota akulturasi budaya Sunda dan Jawa, kota yang memiliki sejarah tak terlupakan akan sebuah cikal bakal sebuah negara, Indonesia. Apa kabar Cirebon? Ijinkan kami menjejakkan kaki di bumi Wali Gunung Jati.


Berbeda dengan kota-kota sebelumnya, pengetahuan kami akan kota ini adalah, nol. Hanya berbekal informasi dari rekan-rekan blogger kami beranikan diri untuk menyusun rencana mengunjungi Cirebon. Beruntung ada seorang kawan yang menjadi guide kami secara maya (tidak kasat mata, hehehe…^^), kawan kami ini adalah kawannya suami dari kawan kami….(hmmm, silahkan membayangkan garis perkawanan kami…^^), tapi yang jelas, beliau adalah kawan kami sekarang. Siapa dia, dia diberikan nama oleh orang tuanya Agung, nama panjangnya, Aguuuuuuuuuuuuung (hehehe…punten kang, kami tidak tau nama panjangnya..^^).
Catatan perjalanan ini kami susun seperti ini,
Sejarah Cirebon
Rute Perjalanan
Kraton Kanoman
Kraton Kasepuhan
Masjid Sang Cipta Rasa
Pasuketan
Masjid Bata Merah
Alun-alun Kejaksan
Balai Kota Cirebon
Stasiun Kejaksan
Perjalanan Pulang
Kawan-kawan siap mengikuti perjalanan kami, kencangkan sabuk pengaman anda, karena perjalanan ekspres ke Cirebon segera dimulai. Ladies and Gentlemen please start your engine….
Sejarah Cirebon
Ada banyak sumber yang dapat dijadikan rujukan ketika berusaha mencari sejarah akan kebesaran kota ini, sumber-sumber tersebut bisa berupa manuskrip-manuskrip kuno yang ditulis pada abad ke -18 dan ke – 19. Naskah-naskah tersebut antara lain Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Walangsungsang dan lain sebagainya. Tulisan tentang sejarah Cirebon ini kami kutip dari elgibrany.blogsome.com, dimana sumber aslinya dari tulisan Prof. Dr. Nina Herlina Lubis (sama seperti yang kami kutip untuk sejarah Dustira, Cimahi). Diantara naskah -naskah yang memuat sejarah awal Cirebon, yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723. Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “sarumban”, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi “Carbon”, berubah menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai “Pusat Jagat”, negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya “Negeri Gede”. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan berproses lagi menjadi “Grage”.
Cirebon yang sekarang kita kenal, (dan telah kami jelajahi walaupun hanya sepersekian dari kekayaan dan kecantikan totalnya) memiliki sejarah yang panjaaaaaaaang sebelum bertransformasi menjadi wujudnya sekarang. Dari sejarah panjang tersebut akan coba kami rangkum tapi tidak menghilangkan esensi dasarnya. Begini cerita singkatnya.
Dahulu kala, pada abad 14, terdapat sebuah desa nelayan kecil di pesisir pantai Utara Jawa Barat bernama Muara Jati. Walaupun hanya merupakan desa nelayan kecil, namun Muara Jati merupakan pelabuhan tempat kapal-kapal asing dari Cina, Persia dan tempat-tempat lainnya untuk melakukan perdagangan dan penyebaran agama Islam. Untuk mengurus administratif pelabuhan tersebut, Prabu Siliwangi sebagai penguasa Pakuan Pajajaran, menunjuk Ki Gedeng Alang-alang sebagai petugas administratif (atau kepala pelabuhan lah…^^). Ki Gedeng Alang-alang sebagai Kuwu (penguasa setempat) mendirikan pemukiman dengan nama desa Caruban yang artinya campuran, (karena di pemukiman tersebut berisi beraneka ragam suku) dengan jalan membuka hutan yang kemudian menjadi Dukuh Tegal Alang-alang (sekarang menjadi Lemahwungkuk). Bersama dengan Ki Gedeng Alang-alang, tinggal juga Pangeran Walangsungsang dan adiknya, Nyai Lara Santang, yang tak lain adalah putra dan putri Indonesia, oops, maksudnya putra dan putri Prabu Siliwangi. Mereka sedang memperdalam agama Islam di bawah asuhan Syekh Datuk Kahfi. Pangeran Walangsungsang mendapatkan nama baru, yaitu Ki Somadullah. Atas saran Syekh Datuk Kahfi, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang pergi haji dan mendapatkan gelar Haji Abdullah Iman serta Hajah Sarifah Mudaim. Pada saat haji itu juga, Nyai Lara Santang diperistri oleh Sultan Mesir, Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Dari perkawinan ini lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati.
Pada tahun 1447 (kami kurang paham, apakah setelah Pangeran Walangsungsang naik Haji atau sebelumnya), Ki Gedeng Alang-alang meninggal, Kuwu Cerbon digantikan oleh Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana mendirikan Masjid Jalagrahan dan membuat rumah besar yang kelak menjadi Kraton Pakungwati (sekarang menjadi Kraton Kasepuhan). Pakuwuan Cerbon ini kemudian ditingkatkan menjadi Nagari Caruban Larang yang sampai akhirnya Pangeran Cakrabuana mendapatkan gelar Sri Mangana dari Prabu Siliwangi, yang tak lain tak bukan adalah ayahandanya sendiri. Dari perkawinannya dengan Nyai Mas Endang Geulis, Pangeran Cakrabuana mendapatkan seorang putri bernama Nyi Mas Pakungwati (yang kemudian namanya diabadikan sebagai nama Kratonnya). Nyi Mas Pakungwati ini kemudian menikah dengan sepupunya sendiri, Syarif Hidayatullah. (kalau dalam adat sekarang bisa ga ya, menikah dengan anaknya pakde? Dalam hubungan kekerabatan Pangeran Cakrabuana kan masih terhitung Pakdenya Syarif Hidayatullah, karena emaknya Syarif Hidayatullah adalah adik kandung Pangeran Cakrabuana. Dalam kehidupan sekarang, dalam adat apapun, mungkin enggak ya?....). dan karena perkawinan itu, Syarif Hidayatullah menggantikan Pangeran Cakrabuana untuk kemudian memerdekakan Caruban Larang dari kekuasaan Pajajaran dengan cara menolak membayar upeti kepada Prabu Siliwangi. Dengan merdekanya Caruban Larang, Syarif Hidayatullah diangkat menjadi Kepala Nagari dan bergelar Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban. Sejak tahun 1479 itulah, Caruban Larang dikembangkan menjadi Kesultanan Cirebon. Sunan Jati pun menjadi Sultan Cirebon I.
Demikianlah kawan, sejarah singkat asal usul Cirebon, semoga tidak mengantuk untuk melanjutkan pada bagian selanjutnya…monggo…

0 comments:

Post a Comment

Indonesia Barat