Nah di depan alun-alun yang indah itu berdirilah dengan megah Masjid Agung Babussalam. Menurut harian Umum Pelita Edisi Kamis 7 Januari 2010 Mesjid ini terbaik di Jawa Barat baik dalam pengelolaannya maupun kemegahannya walaupun Masjid Agung Cianjur dibangun tahun 1810 (wuihhh mantabbb) .
Masjid Agung Cianjur, pertama kali dibangun oleh masyarakat Cianjur tahun 1810 M (namun sayang nama-nama orang yang pertamakali membangunnya tidak tercatat). Semula ukurannya sangat kecil. Sekitar tahun 1820 M, pertamakali dilakukan perbaikan dan peluasan, sehingga ukurannya menjadi 20 x 20 M2 atau seluas 400 M2. Perbaikan dan perluasan dilakukan oleh Penghulu Gede, Raden Muhammad Hoesein Bin Syekh Abdullah Rifai Penghulu Agung Pertama (I). Ibunya, NYR Mojanegara Binti Dalem Sabirudin. Beliau adalah cucu Dalem Sabirudin. Sedangkan Syekh Abdullah Rifai, ayah Muhammad Hoesein berdarah Arab dan Banten dari keturunan Bayu Suryaningrat.
Masjid Agung Cianjur pada peristiwa meletusnya Gunung Gede tahun 1879 tak luput terkena letusan Gunung Gede, sehingga masjid ini rusak porak poranda. Bahkan pada saat itu, seorang ulama ikut gugur, yaitu RH Idris Bin RH Muhyi (ayahnya KRH Muhammad Nuh, seorang ulama besar Cianjur), yang waktu itu, bertempat tinggal di Kampung Kaum Kidul.
Tahun 1880 M, masjid ini dibangun kembali oleh RH Soelaeman, waktu itu beliau sebagai Penghulu Agung dan RH Ma\'mun Bin RH Hoesein yang lebih dikenal dengan nama panggilan Juragan Guru Waas, yang dibantu oleh masyarakat Cianjur. Masjid Agung mengalami perubahan bentuk dan dilakukan kembali perluasan bangunannya. Sehingga luasnya mencapai 1.030 M2. Tahun 1912, ketika masjid berusia 32 tahun kembali dilakukan perbaikan dan perluasan di antaranya oleh RH Moch Said Penghulu Agung Cianjur, Isa al-Cholid salah seorang guru thorekat, RH Tolhah Bin RH Ein al-Cholid dan H Akiya Bin Darham, penduduk Cianjur keturunan Kudus.
Keberadaan Masjid Agung waktu itu, meskipun beberapa kali mengalami perbaikan sepanjang tahun 1950 hingga tahun 1974, bentuk arsitekturnya hampir tetap sama, yaitu bentuk atap segi empat. Di tengah-tengah bagian atas atapnya terdapat satu menara besar tunggal atau kubah yang dilapisi seng besi dengan cat putih. Di atas kubah terdapat lambang bulan sabit. Dulu, Masjid Agung Cianjur terkenal dengan alunan suara adzannya yang sangat merdu di atas menara yang dikumandangkan, di antaranya oleh muadzim R Muslihat (alm) seorang pegawai bagian kemesjidan sebagai muadzim tetap Masjid Agung Cianjur, penduduk Jalan Bojongmeron, Warujajar, RH Duduh (Alm) Bagian Keuangan KUA Kabupaten Cianjur penduduk Jalan Oto Iskandardinata I Bojongherang, Buniwangi.
Dari atas dua menara tinggi yang dimiliki masjid ini, dapat melihat pemandangan kota, yang nyaman tenteram, seiring dengan dilaksanakannya gerakan moral Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlaqul Karimah), yang sudah berlangsung sekitar empat tahun lalu.
Petualangan untuk ind***e yang berakhir dengan sup buah.
Setelah muter-muter dan jeprat-jepret sana sini kami pun lapar. Maklum, kami ini manusia dan sudah waktunya makan siang. Dari Bandung sudah bertekad bulat sebulat-bulatnya untuk check point (istilah untuk makan) ind***e. Menu tetap MPK dalam petualangannya. (Ga Boleh diubah-ubah tuh kalo ga perlu). Pada tau kan ya merk mi instan ternama itu. Kita turun menuju ke arah pasar. Dikelilingin semuaaa namun anehnya tak ketemu satu warungpun yang menjual ind***e. Yang ada mie goreng, ketoprak, bakso dan menu lainnya yang sama sekali bukan ind***e. Aneh binti ajaib biasanya tersebar dimana-mana. Kami bingung dan dengan sedikit tak percaya menyimpulkan “susah ya cari tukang ind***e di Cianjur ini”. (emang kami aja kali yang ga ngeliat ya..).
Kesel namun tetap keren kami memutuskan kembali ke jalan yang benar. Kembali ke Mesjid Agung Babussalam karena ada personil yang mau sholat (maklum cuy, cikal bakal ustadz taat sholat lima waktu, tak kan tergoda untuk tak sholat…) dan meneruskan ke tempat tujuan akhir ke Stasiun Cianjur. Sedikit bocoran petualangan untuk kereta lebih menegangkan lagi. Sesampai di lokasi Masjid, masing-masing menunaikan tugasnya ada yang sholat ada yang menuju toilet. Di Masjid kita disambut dengan ramah (lagi-lagi ramah bukan kepalang) oleh petugasnya. Setelah sholat kita menanyakan arah untuk menuju stasiun kereta. Bapak petugas menjelaskan dengan inti, detail binti terperinci sambil menginformasikan tempat-tempat indah lain yang bisa dikunjungi selama di Cianjur.
Perut masih lapar dan haus ketika meninggalkan Mesjid menuju ke Stasiun, dalam perbelokan (belok dunk karena keluar dari Mesjid) kami melihat sesosok Aa penjual sup buah. Sontak plus spontan kami duduk manis dan memesan menu andalannya. Sebelum memesan , masing-masing mata kami melongo (melongo dengan cepat dan melesat tanpa ketahuan) ke daftar harga yang di pajang si Aa penjual sup buah. Ketika dipastikan harga dalam ambang batas yang “wajar” yaitu Rp. 5000/ porsi kami memesan sup buah itu dan berharap melupakan kepahitan hati yang tak jua menemukan ind***e (hiks). Harga memang menjadi issue yang perlu diperhatikan, betapa tidak, karena komunitas ini memiki bendahara yang sangat kompeten, dimana ketika pengeluaran melebihi dari yang direncanakan maka dengan muka tak berdosa dan tanpa ragu-ragu bendahara akan menagih uang tambahan dari masing-masing anggota, dan dipastikan sobat, Bendahara TAK pernah gagal. (ada yang mau hire jadi tukang tagih???) dan apapun usaha yang dilakukan untuk menggeser rencana keuangan, It’s not gonna happen.
0 comments:
Post a Comment