Setelah itu kami ke stasiun karena berniat pulang ke Bandung dengan kereta. Dari Mesjid Agung Babussalam menuju Stasiun Cianjur kami tempuh dengan berjalan kaki. (taat asas MPK). Selama jalan kaki kami menemukan banyak kuda dan tanpa diduga dan disangka kami melewati warung makan yang menyediakan menu Ind***e. (akhirnyaaaaaa..). Secepat kilat “bu Ind***e tiga, pake telor ga pake sayur” (inilah menu pusaka kami) dan jika keadaan keuangan memungkinkan kami memesan teh manis, karena para pejalan kaki perlu asupan gula yang cukup..he..he (jika keuangan tidak memungkinkan..u knowlah). Kami menikmati makan siang impian kami dengan santai tanpa gangguan karena jadwal kereta masih memungkinkan untuk santai-santai plus kongkow-kongkow. Makan siang diiringi dengan senyum gembira kemenangan karena mendapatkan menu pujaan hati ini.
Karena takut telat dan khawatir gorengan yang kami beli untuk bekal di kereta jadi dingin dan lesu, kami pun beranjak dari warung dan sudah pasti dibayar dululah makanan tadi. Si Ibu pemilik warung menghitung semua makanan yang kami habiskan dan dalam proses menghitung kami dengan sigap membantu karena si ibu salah itung awalnya. Nah waktu di total jenderal kenigpun mengkerut dan sudah pasti bendahara duluan yang mengalami gejala itu. Bendahara dengan baik dan benar bertanya “Seporsinya berapa bu?” dengan manis Ibu warung menjawab “Rp. 6.000 neng”. Widiiiiihhhh senyum gembira tadi perlahan luntur dan menjauh, karena kami membandingkan dengan harga ind***e di Bandung (di tempat abah khususnya) seharga Rp. 4.500. Tapi ya sudahlah, no pain no gain my friend (hallah..!!) Rp. 6000 sepadan dengan kegembiraan sejati bertemu menu andalan tadi.(itungan banget yak).
Kembali ke cerita Stasiun Cianjur, kami lanjutkan perjalaanan dan tibalah kami di rel kereta (lho..Kok rel??!!??). Lalu dengan manisnya melaju sebuah kereta ekonomi yang saat itu kami tak tahu tujuannya kemana. Salah satu personel berkata “ini kayaknya kereta ke bandung, kita da telat nih”. Personil si tukang jeprat-jepret berkata dengan lugas dan percaya diri tinggi “Bukan, jadwalnya jam dua kok trus bukan kereta ekonomi yang ini”. Kami pun tenang dan melongo kanan kiri mencari stasiun dan ternyata stasiun ada di belokan sebelah kiri kami. Namun sambil bercandaan kami berkata “ternyata itu dia keretanya, kita ketinggalan deh..ha..ha..ha.” (tertawalah kami dengan candaan yang saat itu terasa lucu sekali)
Akhirnya kami tiba di Stasiun Cianjur. Tak banyak orang yang mengetahui, stasiun kereta api Cianjur yang terletak di Jalan Dewi Sartika tersebut, sempat menjadi bagian sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Pada zaman penjajahan yang dilakukan Belanda dan Jepang terhadap Indonesia, stasiun kereta api Cianjur pernah menjadi stasiun induk bagi Priangan (Jawa Barat), saat Cianjur menjadi ibukota Priangan. Namun sayang, bangunan peninggalan dengan arsitektur art deco itu, seolah tidak terurus dengan baik. Selepas aktivitas yang mayoritas terjadi pagi dan siang hari, selebihnya, bangunan yang berdiri sekitar tahun 1879 itu, lebih banyak dihuni sejumlah gelandangan dan pengemis (gepeng). Bahkan kalau malam menjelang, kawasan ini disinyalir menjadi tempat mangkalnya para kupu-kupu malam.. Info ini kami dapatkan dari Jurnal Bogor.
Sebelum memesan tiket kereta (ekonomi ya bukan eksekutif) kami melihat jadwal terlebih dahulu dengan tujuan agar bisa memesan tiket dengan benar. Secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya kami melihat jadwal dan terjadilah apa yang kami candakan saudara-saudara. Kereta dijadwalkan sudah berangkat. Berharap jadwal itu salah kami bertanya kepada petugas stasiun penjual tiket, “Pak kereta yang ke Bandung udah berangkat ya?” (pertanyaan berbau penegasan). Petugas menjawab “iya udah”. Fiuhhhh, stasiun Cianjur hanya melayani rute Bandung-Cianjur, Cianjur-bandung sekali dalam sehari. Kereta jurusan bandung baru saja berangkat dan memang benar kereta yang melewati kami dengan manis tadi adalah kereta yang seharusnya kami naiki yang seharusnya mengangkut kami penumpang yang keren dan manis ini. Canda tawa berubah sudah menjadi tangisan dalam hati. Tak ada harapan untuk pulang naik kereta dan gorengan tadi pun berubah nama yang semula gorengan untuk bekal di kereta menjadi gorengan bekal di angkot (hiks lagi).
0 comments:
Post a Comment