Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma| Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat |

Istana Bogor


Cara untuk bisa sampai ke Istana Presiden atau biasa disebut Istana Bogor adalah, pertama, anda harus nyampai di Bogor terlebih dahulu, kedua, anda harus berniat untuk pergi ke Istana Bogor dan terakhir, anda harus usahakan biar bisa nyampe ke sana,,,gampang kan...^^
Baiklah, karena kami memulai perjalanan di Bogor dari Baranangsiang, maka kami segera mencari angkot yang bersedia mengantarkan kami ke Istana Bogor, dan angkot tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah angkot jalur 03, jurusan Merdeka – Baranangsiang, wujudnya berupa angkot berwarna hijau. Kamipun naik bersama dengan mereka, ntah siapa mereka dan mau kemana mereka bukan urusan kami, yang jelas kami mau ke Istana Bogor, tapi, merekapun tidak perduli siapa kami dan mau kemana kami...hehehe  Dengan berbekal uang Rp. 2.500 dan menempuh perjalanan sekira 15 menit, kami sampai di depan Istana Bogor yang terkenal itu. Berhubung kami bukan Presiden, bukan anak Presiden, bukan saudara dan kerabat presiden maupun siapapun yang memiliki hubungan dan kepentingan dengan Presiden, maka kami dilarang masuk, tapi sempat mengambil gambar, tepat di depan hidung Istana Bogor.
Karena kami tidak bisa masuk ke Istana Bogor, maka kami akan sedikit sok tau untuk menceritakan tentang Istana Bogor tersebut (karena sama-sama ga tau, ga boleh ngebantah ye...^^).
Istana Bogor
Dahulu kala, pada era VOC, pusat pemerintahan (atau apa ya pasnya, karena ini merupakan kongsi dagang, kantor pusat kali ya) berada di BATAVIA atau Jakarta Raya sekarang. Kebiasaan orang bule yang ditiru sama orang kita sekarang, adalah mencari tempat refreshing ketika pekerjaan menumpuk, Batavia dianggap terlalu panas dan ramai, sehingga mereka ingin mencari tempat lain yang sejuk di luar Batavia.,
Sang Gubernur Jenderal, G.W. Baron van Imhoff ga hanya ongkang-ongkang kaki menyuruh anak buahnya, diapun ikutan nyari, dan menemukan lokasi yang pas, strategis di sebuah kampung bernama Kampong Baroe, saat itu tanggal 10 Agustus 1744. Waktu itu Kampong Baroe sedang bagus cuacanya, sejuk, dan membuat hati sang Gubernur Jenderal tenang (SOTOY...^^), dan akhirnya keluarlah titah sang Gubernur Jenderal setahun kemudian, untuk membangun sebuah pesanggrahan (villa) di tempat tersebut dan diberi nama Buitenzorg, yang artinya “bebas masalah” atau dapat diartikan juga “tanpa kekhawatiran” atau disebut juga San Souci. Baron van Imhoff sendiri yang merancang dan mebuat sketsa bangunan tersebut, meniru bangunan Blenheim Palace, kediaman Duke of Malborough, dekat kota Oxford, Inggris. Karena masa kerja Baron van Imhoff selesai tahun 1750, maka pembangunan dilanjutkan oleh Gubernur Jenderal Jacob Mossel.
Pas enak-enaknya ngebangun ni villa, rakyat Banten yang anti kompeni menyerang, bangunan yang tak berdosa itupun kena imbasnya, rusak berat. Kejadian ini berlangsung sekira tahun 1750 – 1754 dalam sebuah perang yang disebut dengan Perang Banten, kalian sudah lahir sebetulnya, tapi kalian lupa (numpang lirik lagunya Kang Pidi Baiq, yang judulnya Sangkuriang, hehehe). Perang selesai, gedungpun dilanjutkan pembangunan (tepatnya direnovasi) sampai akhirnya pada masa Gubernur Jenderal yang ternama, Willem Daendels, yang masa kerjanya 1808 – 1811, gedung ini diperluas dengan memberikan penambahan baik ke kiri maupun ke kanan bangunan utama. Bangunan utamapun dijadikan dua tingkat, halaman yang luas dipercantik dengan mendatangkan enam pasang rusa tutul dari perbatasan India dan Nepal. Sekarang rusa tersebut beranak pinak dengan sesama rusa tentunya, sampai menjadi banyak seperti sekarang.
Rusa Istana
Gedung Buitenzorg tersebut kembali mengalami perombakan besar-besaran pada eranya Gubernur Jenderal Baron van der Capellen, yang masa kerjanya 1817 – 1826. Sebuah menara didirikan di tengah-tengah gedung utama (gedung induk) sehingga istana nampak makin waow, sedangkan lahan disekelilingnya dijadikan kebun raya yang diresmikan 18 Mei 1817. Sayangnya, gedung ini kembali mengalami rusak berat akibat gempa tanggal 10 Oktober 1834. Apakah para bule itu diam saja? Tentu tidak, pada masa Gubernur Jenderal Albertus Yacob Duijmayer van Twist (busyeet, panjang amat namanya...) yang masa kerjanya 1851 – 1856, bangunan lama sisa gempa dirubuhkan sama sekali, kemudian diganti dengan gedung baru dengan mengambil gaya arsitektur Eropa. Perubahan lainnya adalah dengan menambah dua buah jembatan penghubung antara gendung induk dengan gedung sayap kanan dan kiri yang dibuat dari kayu berbentuk lengkung (coba dibayangkan sendiri ya...). Bangunan ide Gubernur Jenderal Albertus ini baru kelar secara utuh pada masa Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud de Montager (lebih panjang lagi namanya...) yang masa kerjanya 1856 – 1861. Baru pada masa Gubernur Jenderal selanjutnya (siapa namanya???), pada tahun 1870, bangunan atau istana atau villa ini ditetapkan sebagai kediaman resmi Gubernur Jenderal yang sedang berkuasa.
Akhir perang dunia II, Jepang game over, dan Indonesia merdeka, Barisan Keamanan Rakyat (BKR) sempat menduduki Istana ini untuk mengibarkan bendera merah putih. Istana ini kemudian menjadi Istana Kepresidenan Bogor dan diserahkan ke pemerintah republik ini akhir tahun 1949, dan secara resmi dipergunakan pada bulan Januari 1950. Itu sejarahnya, sekarang isinya.

Bangunan induk terdiri dari kantor pribadi Kepala Negara, Perpustakaan, Ruang makan, Ruang sidang menteri-menteri dan Ruang pemutaran film, Ruang Garuda merupakan tempat upacara resmi, ruang teratai, sayap tempat penerimaan tamu-tamu negara. Sedangkan kanan dan kiri digunakan untuk ruang tidur tamu-tamu agung seperti Kepala Negara/ Pemerintahan, para menteri dan sebagainya. Bahkan pada tahun 1964 dibangun khusus untuk istirahat Presiden dan keluarganya, yang dikenal dengan nama Dyah Bayurini.
Istana Bogor view Kebun Raya
Istana ini mempunyai koleksi buku sebanyak 3.205 biji (buku ada bijinya rupanya?? ^^, trus apa dong? Buah? Emang buku berbuah?? ^^), yasudah, sebanyak 3.205 buku yang daftarnya ada tuh di kepustakaan istana. Istana inipun menyimpang banyak koleksi lukisan, patung, keramik dan lain-lainnya. Lukisannya berjumlah 448 lukisan (nah gitu dong...^^), lengkap dengan judul, nama pelukis, tahun dilukis semuanya lengkap ada, begitupula dengan patung beraneka macam bahannya, terdapat 216 patung lengkap dengan identitasnya masing-masing. Keramik ada 196 keramik, apalagi? Udah itu aja? Ya ga tau, kan kami ga masuk, info ini kami dapat dari kesekretariatan Kepresidenan Republik ini, berani bantah ga?? Hehehe, informasi lebih rumit silahkan kunjungi www.presidenri.go.id.
Istana Bogor ini juga tampak dari dalam Kebun Raya, dan viewnya lebih yahuud dibandingkan tampak depan yang kaku. Tukang jepret kami sempat mengabadikan istana tersebut melalui kameranya, yang katanya foto itu menjadi foto favoritnya (padahal biasa aja...^^), tapi soal selera tidak ada yang salah dan benar, semua sah-sah aja...bukan begitu bos? (bukan...^^)
Dari Istana kami melanjutkan perjalanan ke landmark Kota Bogor yang lain, yaitu Kantor Bakorwil Bogor. Tak perlu ditanya lagi dengan menggunakan apakah kami kesana, karena kami MPK, maka kamipun harus setia dengan nama kami tersebut, jalan kaki.

0 comments:

Post a Comment

Indonesia Barat