Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma| Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat |

Bandung Kilometer Nol

Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd”, itulah kurang lebih kalimat yang disampaikan Daendels kepada Bupati Bandung, R. A. Wiranatakoesoema II sambil menancapkan tongkatnya, yang artinya, “usahakan, bila saya datang kembali kesini, sebuah kota telah dibangun”. Banyak yang mengatakan, pembangunan kota Bandung dimulai dari peristiwa ini. Namun, tidak juga sebetulnya. R. A. Wiranatakoesoema II telah melihat perlunya sebuah ibukota kabupaten yang berada di dekat jalan raya untuk memudahkan perhubungan, perdagangan dan pengawasan wilayah. Krapyak yang sering dilanda banjir terletak di wilayah selatan sehingga sulit untuk mengawasi wilayah utara. 


R.A. Wiranatakoesoema II tidak memilih lokasi tancapan tongkat Daendels sebagai titik pusat ibukota dan pemerintahan yang akan dibangun. Berdasarkan kepercayaan tradisionil yang bersifat mistik, lokasi yang dipilih adalah daerah di sebelah barat perpotongan tegak lurus Sungai Cikapundung dengan Grote Postweg (Jalan Raya Pos Daendels), yaitu di Alun-alun Bandung sekarang. Pembangunan tersebut dipimpin langsung oleh R.A. Wiranatakoesoema II (Dalem Kaum), dan oleh pemerintah kolonial tertanggal 25 September 1810, Kota Bandong dinyatakan sebagai ibukota Kabupaten Bandong, sehingga tanggal 25 September diperingati sebagai hari jadi kota Bandung.
Saat ini tempat yang diduga bekas tancapan tongkat si Daendels tersebut didirikan sebuah monumen yang dikenal dengan Monumen atau Tugu Kilometer Nol. Tugu ini diresmikan Gubernur Jawa Barat, H. Danny Setiawan tanggal 18 Mei 2004 sebagai wujud dedikasi bagi korban kerja paksa Daendels dalam membuat Jalan Raya Pos. Jalan Raya Pos ini merupakan jalan yang menghubungkan Anyer (Banten) – Panarukan (Jawa Timur) dengan panjang kurang lebih 1000 km. Jalan ini sampai di Bandung antara tahun 1810 – 1811 (dimulai tahun 1809 di Anyer dan memulai pengerjaan di Sumedang setelah Bandung tahun 1811, jadi di Bandung antara tahun 1810 – 1811, mungkin, hehehe ^^). Jalan Raya Pos ini dulu dikenal dengan nama Jalan Raya Barat dan Jalan Raya Timur (karena menghubungkan wilayah Bandung Barat dan Timur) kemudian beberapa ruasnya diganti menjadi Jalan Asia – Afrika, ruas yang lain menjadi Jalan A. Yani dan Jalan Jenderal Sudirman.
Cara menuju tempat ini sangat mudah kawan (darimana dulu….iyya benar). Seperti perjalanan-perjalanan yang lalu, selalu memulai start dari Dipati Ukur (bener kan kami memulai start dari ruas jalan ini, karena ini jalan dulunya adalah Dipati Priangan…apa hubungannya…??? ^^). Dari Dipati Ukur kawan-kawan cukup naik angkot jurusan Kalapa (Abd. Muis) – Dago, angkotnya carry warna Ijo. Kurang lebih 30 menitan lah dari Dipati Ukur, karena rute angkot ini cukup crowded ga siang, ga pagi ga malem. Melalui jalan raya Dago (Ir. H. Djuanda) yang terkenal itu (nanti akan kita bahas tersendiri tentang jalan yang satu itu), kawan-kawan turun di simpang Asia Afrika atau turun di depan Hotel Grand Preanger, kalo belum tau hotel Grand Preanger, ketika memasuki jalan Lembong tengok ke kanan jalan aja, nah disitu ada patung disertai air mancur tiga penari (ntah tari apa itu namanya), nah itulah hotel Grand Preanger. Turun disitu kawan-kawan nyebrang ke Jalan Asia Afrika, disebelah kanan jalan itulah nongkrong Bandung kilometer nol yang dibelakangnya terdapat sebuah kendaraan (sekarang orang Surabaya menyebutnya dengan nama slender kalo ga salah) untuk menghaluskan aspal atau jalan.
Di depan tugu kecil ini aga ke kanan sedikit terdapat salah satu hotel terkenal lainnya selain Preanger, yaitu Hotel Savoy Homman, terletak pas di samping kiri jalan Homman (ntah mana yang terlebih dahulu ada, Hotel Savoy Homman atau Jalan Homman…^^). Di samping kanan tugu ini terdapat kantor surat kabar terkemuka di Bandung, Pikiran Rakyat, disamping kanannya lagi, setelah menyebrang jalan Braga terdapat salah satu situs yang sekaligus museum yang sekaligus juga gedung pertemuan, yaitu Gedung Merdeka yang masih menjadi satu kesatuan dengan Museum Asia – Afrika yang dulunya dikenal sebagai Gedung Concordia. 
Bersambung....

0 comments:

Post a Comment

Indonesia Barat