Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma| Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat |

Alun-Alun dan Masjid Agung Bandung

Masjid Agung Bandung
Seperti kami di bilang pada bagian sebelumnya kawan, kami bingung di persimpangan setelah menceritakan Gedung Merdeka, menceritakan Braga dulukah, atau Alun-Alun. Karena Braga sudah dibahas, mari kembali ke Gedung Merdeka untuk berjalan ke Alun-Alun Bandung.
Alun-alun dan Masjid Agung ini tidak jauh dari Gedung Merdeka, jika kita keluar dari Gedung Merdeka menengok ke kanan, sudah nampak menara Masjid Agung, twin towers, menara kembar yang bisa kita naiki (bukan dipanjat tentunya :p) untuk melihat Kota Bandung dan membenarkan teori, bahwa Bandung adalah sebuah cekungan atau sebuah danau raksasa, karena sejauh mata memandang 360 derajat akan kita lihat dinding-dinding batu seakan kita berada di dalam sebuah cekungan raksasa. Bagaimana cara naik ke menara itu? Nanti kita ceritakan bersama-sama ^^

Kita mulai dengan alun-alunnya. Alun-alun, seperti kebanyakan alun-alun di daerah Jawa merupakan bagian dari tata kota yang diseragamkan pada masa kolonial Hindia Belanda (sistem MACAPAT). Jika terdapat alun-alun, maka disekitarnya akan terdapat pusat pemerintahan (Pendopo Kabupaten), terdapat pusat ibadah (pura/ dalam hal ini Masjid), pasar dan satu lagi penjara. Sistem tata kota seperti ini juga dikenal dalam tata kota zaman Majapahit dan kerajaan-kerajaan dulu. Jadi antara alun-alun dan Masjid Agung seakan tak pernah terpisahkan (lihat catatan perjalanan kami untuk Cimahi, Cianjur, Cirebon dan Purwakarta). Karena Masjid Agung diduga dibangun antara tahun 1810/ 1812, maka alun-alun inipun berumur kurang lebih sama, dan mengingatkan kita akan peristiwa Daendels di titik nol Bandung.
Daendels memerintahkan untuk membangun jalan Anyer – Panarukan rute Bandung – Sumedang tahun 1810, bersamaan dengan diperintahkan membuat pusat kota Bandung dari titik nol tersebut. Tidak ada bukti kuat yang menyatakan, bahwa pemindahan ibukota Bandung dari Dayeuh Kolot ke alun-alun sekarang karena perintah Daendels atau karena keinginan R.A. Wiranatakoesoema II sendiri. Yang penting ibukota Bandung diamankan dari bahaya banjir yang kerap hadir ke Dayeuh Kolot, bahkan sampai sekarang.
Begitulah adanya alun-alun Bandung, saat ini, punten-punten, sering ada yang mangkal di alun-alun, ga perduli di depan alun-alun itu adalah Masjid Agung Bandung (Masjid Agung Propinsi Jawa Barat bahkan namanya). Penyakit alun-alun ditiap-tiap tempat selalu sama, yaitu Pedagang Kaki Lima, muda-mudi pacaran, dan wanita mangkal yang bisa dirental..kamipun bingung untuk menuliskannya, baiknya kita bahas saja tentang Masjid Agungnya.
Pada awal didirikannya, sekitar tahun 1810/ 1812 masjid tersebut masih berupa bangunan panggung sederhana yang terbuat dari bambu dan beratap rumbia. Disekitar masjid tersebut terdapat kolam besar tempat mengambil wudhu (apakah kolam besar yang dimaksud adalah kolam air mancur ditengah-tengah alun-alun atau bukan? Kami tidak tahu, nampaknya bukan, jika iyya, alangkah jauhnya antara tempat ibadah dengan tempat ambil wudhunya, bisa kentut-kentut waktu baliknya :p). kawasan ini (alun-alun dan masjidnya) pernah kebakaran sekitar tahun 1825 sehingga masjid direnovasi total tahun 1826 dengan mengganti bambu sebagai bagian utama bangunan menjadi bangunan berkonstruksi kayu. Pada tahun 1846, masjid ini direnovasi ulang oleh R.A. Wiranatakoesoema IV selaku Bupati Bandung, dengan mengganti atap dengan genting dan dinding tembok batu-bata. Pada tahun 1850an, masjid ini terekam dalam gambar seorang pelukis Inggris W. Spreat yang digambarkan beratap tumpang tiga, memiliki halaman luas, dikelilingi pohon bambu dan kelapa serta di depannya terdapat gerbang yang diapit dua pohon beringin.
Pada tahun 1875, masjid ini sudah memiliki bentuk yang modern, dengan atap “nyungcung”, yaitu berbentuk tinggi menjulang namun pada bagian bawah setiap lapisan atap tumpukan berbelok mendatar. Selain itu terdapat kolom-kolom “doric” Yunani serta adanya tembok/ pagar mengelilingi serambi luar setinggi satu hingga satu setengah meter. Tembok tersebut tidak hanya tembok saja, melainkan difungsikan sebagai dudukan pondasi yang ditinggikan serta sebagai kolom penyangga tiang-tiang. Pada tahun 1900an, Masjid Agung mulai populer sebagai tempat ibadah yang representatif bagi sebuah ibukota, dan pada sekitar tahun 1935, Masjid Agung benar-benar menjadi pusat ibadah umat muslim dan menjadi pusat kegiatan sosial masyarakat Bandung. Secara fisik, pada tahun 1935, Masjid Agung menjadi bangunan yang cantik dan menarik dengan aksen simetris Eropa ditambah penggunaan pilar-pilar terpengaruh gaya India. Pada masa ini pula, hampir seluruh bangunan masjid agung dan alun-alun diberi pagar tembok berlubang dengan ornamen sisik ikan hasil rancangan arsitek Belanda, Henry Maclaine Pont.
Setelah kebakaran tahun 1825, Masjid Agung mengalami perombakan total pertama pada tahun 1954, menjelang Konferensi Asia-Afrika. Sebelumnya, Soekarno, setelah lulus dari ITB tahun 1925 dengan gelar Ciciel Ingenieur (Ir) memiliki gagasan untuk membangun Masjid Agung bersama Ir. Rosseno, namun rencana tersebut gagal terealisasi gara-gara dijegal sama Belanda. Pada tahun 1954, Gubernur Jawa Barat mengadakan rapat renovasi masjid, dan pada waktu itu, Presiden Soekarno memaparkan gagasannya, bahkan menunjukkan gambar rencana pembangunan Masjid Agung. Tak peduli Presiden, rencana Soekarno tersebut tidak disetujui secara keseluruhan, hanya beberapa saja yang direalisasi mengingat waktunya dan anggaran yang terbatas (perlu diingat, Soekarno juga lah yang membuat Monas dan Senayan dengan biaya yang luar biasa).
Gagasan Soekarno terkait renovasi Masjid Agung yang terlaksana antara lain perubahan bangunan induk dengan kubah “bawang” yang dilengkapi dengan menara tunggal. Era kubah “nyungcung” khas Masjid Agungpun ditinggalkan, dan diganti dengan kubah segi empat khas Timur Tengah dengan puncak “bawang”. Masjid Agung dengan penampilan khas Timur Tengah inilah yang dipakai pada saat Konferensi Asia Afrika sebagai tempat Sholat delegasi muslim dari negara tamu. Dengan demikian Masjid Agung mulai dikenal oleh dunia Islam. Masjid Agung model ini hanya bertahan sampai tahun 1970. Renovasi total kedua dilaksanakan setelah tahun 1970.
Pada tahun 1973 dilakukan perombakan total kedua dan memiliki bentuk yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya, selesai dan diresmikan tahun 1974. Masjid diperluas lantainya, mulai dibangun bertingkat, dibangun pula lantai basement sebagai tempat wudhu. Menara yang lama dibongkar diganti dengan yang baru dan lebih tinggi di sebelah kiri masjid. Atapnyapun berubah, kembali ke atap tumpang namun bukan “nyungcung” melainkan bagi sebagian orang disebut dengan “joglo”, khas rumah-rumah adat di Jawa. Masjid Agung yang sekarang, konon merupakan bagian dari renovasi tahun 1973, jadi Masjid Agung sebelum tahun 1973 sudah tidak bersisa sama sekali, dan seolah-olah Masjid Agung yang sekarang adalah masjid baru yang dibuat tahun 1973 dengan lokasi lama tahun 1810.
Informasi ini kami peroleh dari tulisan Bapak Bambang Setia Budi, dosen Arsitektur ITB (ga usah dilawan deh soal detailnya, hehehe), tapi pak, kami pengen nanya neh, menara yang tinggi dibuat tahun 1973 kan Cuma satu, sedangkan sekarang menaranya kembar, di sisi kiri dan kanan masjid, itu di buat tahun berapa? (mungkin kawan-kawan yang tahu kasih info ya...^^). Begitulah sejarah Masjid Agung Bandung ini. Kalau dilihat sekarang, kesan pertama bangunan inti tidak berbentuk masjid justru, kita bisa mengenali sebagai masjid karena menaranya yang menjulang (dapat dinaiki) dan kubahnya yang besar. Bangunan utama lebih berkesan seperti bangunan tertutup (macam benteng kekar) dengan pintu yang gede-gede seperti pintu benteng pula.
Menara dari Menara
Sekarang soal menaranya. Menaranya ada dua, kembar dan tinggi. Entah dua-duanya, entah salah satunya yang bisa dinaiki, yang jelas kami naik menara yang sebelah kiri masjid (kiri jika kami menghadap masjid, atau kanan jika masjid menghadap kami :p, kami tidak menggunakan istilah Utara – Selatan, karena kamipun bingung, mana Utara, mana Selatan, tapi nampaknya menara yang kami maksud adalah Menara Selatan). menara itu terbuka untuk umum hanya hari Sabtu dan Minggu (ga tau kalau hari libur/ tanggal merah). Tiket masuknya Rp. 2.000 + Rp. 1.000 untuk beli kantung plastik sebagai wadah sandal/ sepatu (karena masuk kompleks masjid, maka sandal dan sepatu wajib dilepas, masukin tas/ masukin kantung plastik yang banyak dijajakan disekitar menara). Kalau ditanya tingginya berapa? Berapa ya?? Tinggi yang jelas, hehe. Naiknya pake lift yang dijaga oleh bapak-bapak/ mas-mas yang terkesan kurang ramah (karena mereka Cuma duduk didepan panel tombol lantai dengan dilengkapi earphone menempel ditelinga). Waktu kami masuk ke dalam lift, ada lantai-lantai tertentu tempat berhenti lift, yaitu 1, 2, kemudian berapa lagi lupa sampai terakhir 19. Pengen nanya sama penjaga lift, kupingnya ada earphonenya, jadi kami anggap saja mereka budheg, jadi tak perlu kami tanya, percuma :p
Di atas menara tidak dibatasi waktunya, mau sejam juga boleh, dan kayaknya kita g bisa turun kalau tidak ada pengunjung yang naik. Kenapa kami simpulkan seperti itu, waktu kami mau turun, kami pencet-pencet tombol turunnya lift, tapi lift tiada merespon, barulah kami bisa turun ketika ada pengunjung yang naik dan kami ikutan turun. Buat tips kawan-kawan sekalian, kalau mau naik, pastikan tidak pengen pipis atau BAB, daripada ngompol karena kelamaan nahan,,,hehehe, dan bagi mereka yang takut ketinggian tak usah naik, walaupun aman, karena dikelilingi oleh kaca, namun berasa syur-syur juga waktu ngliat ke bawah...^^
Dari Masjid Agung, menara yang ini tentunya, keluar dari kompleks masjid akan bertemu dengan Plaza Parahyangan, surganya para distroer, bagi pelancong yang mau nyari-nyari barang distro, dan ga mau ke Jalan Riau (RE. Martadinata), cukup kesini saja, karena isinya smua barang distro dan lebih efisien karena ga perlu keluar masuk menyusuri jalan Riau/ Trunojoyo ataupun Sultan Agung...cukup kesini.. Dari sini kami akan menelusuri jalan lurus itu, jalan lurus ke arah datangnya kendaraan yang ramai, baik angkot, bus, maupun taksi (Selatan mungkin), karena ini adalah jalan searah.
Kenapa kami menelusuri jalan itu, dan kenapa kami mau kesitu? Karena kami akan menuju Kebon Kalapa (nama sebuah terminal) yang disana terdapat sebuah pasar modern bernama ITC Kebon Kalapa. Ngapain? Bukan belanja yang jelas, tapi ambil angkot menuju Tegal Lega, menuju museum yang bernama Museum Sri Baduga atau Museum Propinsi Jawa Barat. Kawan-kawan akan diantar (baca: ditulis) oleh E-Lin,  Te ngaso dulu...:p

0 comments:

Post a Comment

Indonesia Barat