Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma| Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat |

Jalan Braga

Jalan Braga
Tulisan mengenai Jalan Braga ini kami tulis ulang dari tulisan Ir. Bambang Soediono yang dimuat di www.bandungheritage.org. Mohon ijin untuk ditulis ulang pak...^^ demi melestarikan cagar budaya Kota Bandung :) Berbicara mengenai Jalan Braga tidak ada matinya, dan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan Kota Bandung itu sendiri terlebih berkaitan dengan masa penjajahan Kolonial Belanda. Jalan Braga sangat berkaitan dengan Politik Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diberlakukan Belanda setelah perang Diponegoro (1825 – 1830)...apa hubungannya??


Jadi gini, demi memberantas pemberontakan Diponegoro, Belanda tekor banyak neh, duitnya kepake banyak buat perang melawan Pangearn Diponegoro dan kawan-kawan, akibatnya, Belanda butuh cara untuk menyeimbangkan kondisi keuangannya, jadi diberlakukanlah Politik Tanam Paksa ini. (masih ga ngerti hubungannya sama Jalan Braga...sabar dulu kawan...^^). Politik Tanam Paksa diberlakukan mulai tahun 1831 sampai dengan 1870, untuk wilayah Bandung dan sekitarnya, tanaman unggulannya adalah Kopi, Teh dan Kina, sedangkan di Bandung sendiri adalah tempat pengepakan dan penyimpanan Kopi, gudangnya terletak di Gedung Balaikota Bandung sekarang yang dulunya bernama Koffie Pakhuis.
Jarak dari gudang kopi ke Jalan Raya Pos (Asia-Afrika) tentunya sangat penting sebagai akses untuk pengiriman hasil bumi. Jalan penghubung tersebut sangat buruk kondisinya, berupa jalan setapak dan berlumpur biasa dilewati Pedati, oleh karena itu jalan itu disebut Pedati Weg, jalan inilah cikal bakal Jalan Braga. Jalan penting sebagai penghubung antara Gudang Kopi ke Jalan Raya Pos.
Tahun 1870, Politik Tanam Paksa berakhir, dan berganti Politik Balas Budi. Pedati Weg pun lambat laun berubah. Pada tahun 1874 baru terdapat enam rumah permanen diselingi beberapa warung beratap rumbia dengan penerangan obor diwaktu malam. Nama “Braga” sendiri masih banyak diperdebatkan sampai sekarang. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa nama “Braga” berasal dari sebuah perkumpulan drama bangsa Belanda yang didirikan oleh Peter Sijthot, Asisten Residen Belanda tahun 1882. Sedangkan versi lokalnya, nama “Braga” diambil dari bahasa Sunda, “Baraga” yang artinya jalan di pinggir sungai. Manakah yang benar?? Biarlah itu menjadi rahasia menariknya Jalan Braga sendiri.
Jalan Braga dalam perkembangannya menjadi ajang pertemuan dan menjadi pusat hiburan. Pada tahun 1920an, Jalan Braga akan dijadikan De Meest Europeesche Winkel Straat van Indie (Jalan Perbelanjaan Bangsa Eropa nomor satu di Hindia Belanda), dan betul, sampai sekarangpun sisa-sisa proyek itu masih terlihat dan berlanjut, tapi tidak bagi Bangsa Eropa, melainkan bagi seluruh manusia :). Untuk mendukung proyek tersebut, setiap bangunan diputuskan harus mempunyai jumlah lantai satu atau dua dengan uraian, untuk bangunan berlantai satu, bagian depan diperuntukkan bagi perdagangan/ toko sedangkan bagian belakang untuk tempat tinggal dan fungsi lainnya; untuk bangunan berlantai dua, lantai satu bagian depan untuk perdagangan/ toko, sisanya untuk fungsi lainnya. Ditambah lagi ketentuan, bahwa baik bangunan berlantai satu maupun berlantai dua bagian depannya haruslah memiliki etalase.
Jalan Braga memanjang dari samping Gedung Concordia (Gedung Merdeka sekarang) di Jalan Asia-Afrika, melewati simpang Gedung Antara dan Bank Jabar (BPD), luruuuuuus melewati simpang Landmark berakhir di simpang Bank Indonesia dan Gereja Bethel. Sebelum dicetuskan sebagai pusat perbelanjaan tahun 1920, Braga sudah memiliki daya tarik tersendiri dengan dibukanya Toserba Hellermann tahun 1894 dan beberapa toko lainnya. Braga semakin menggeliat dengan dibukanya kantor-kantor dan toko-toko baru, diantaranya pada tahun 1919 dibuka Perusahaan perakitan mobil pertama di Hindia Belanda, N.V. Fuchs en Rens yang kemudian menjadi PT. Permorin dan Kantor Gas Negara. Di Braga pula terdapat Gedung Ons Genoegen tempat berlangsungnya rapat politik di masa pergerakan, dan kantor asuransi “Indonesia” milik Dr. S.A.M. Ratulangi. Di Gedung Landmark (sampai sekarang masih tegak berdiri, biasanya dipergunakan untuk pameran buku dan komputer) berdiri Toko Buku dan percetakan Van Dorp & Co, kemudian Toko Jam Swiss, Stocker dan lain sebagainya, termasuk diantaranya Gedung Kantor Berita Antara, Bank Jabar (BPD), Bank Indonesia.
Di ujung Jalan Braga (berseberangan dengan gedung Merdeka) dan berseberangan dengan Hotel Savoy Homman terdapat Toko Dunlop (sekarang Apotek Kimia Farma). Dulunya bangunan ini sempat ditempati oleh Perusahaan Messrs. Rathkamp & Co, yang sangat terkenal dan lengkap dalam menyediakan berbagai macam obat terbaru dan terbaik. Bangunan ini disebut Toko Dunlop oleh masyarakat setempat karena pernah digunakan oleh Firma E. Dunlop & Co. yang merupakan perusahaan tersukses di Hindia Belanda, perusahaan yang bergerak di bidang usaha agen importir dari berbagai produk seperti Susu Swiss (Bear Brand), Anggur Perancis, Sampanye dan Brandy serta miras-miras ternama lainnya, cerutu dan rokok impor dari Havana, Mesir, Inggris dll sampai peralatan olahraga dari Jepang.
De Vries
Di samping Hotel Homman, tusuk sate dengan Jalan Braga (jadi kalo ada orang yang mabok jalan kenceng melewati Jalan Braga dan lupa belok kanan di Asia Afrika) dipastikan akan nubruk gedung tua nan bersejarah ini, Gedung De Vries namanya. Tahun 1906, Messrs J. R. de Vries & Co. memulai usahanya di bidang “Maatschappy tot Voortzetting der Zaken Voorheen” (ntah usaha dibidang apa itu, kami nyulik tulisan ini dari sadnesssystem.wordpress.com, coba cari kamus bahasa India untuk mengartikannya ya :p). Selang 4 tahun toko ini maju pesat, pada tahun 1910 toko ini direnovasi menggunakan jasa Biro Arsitek Hulswit Fermond Ed Cuypers yang ternama waktu itu, sehingga De Vries merupakan toko pengguna jasa arsitek pertama di Bandung (Bank Indonesia menggunakan biro arsitek yang sama 5 tahun sesudahnya). 
Toko ini menjual berbagai perlengkapan mewah, menyewakan gedungnya untuk menjual kebutuhan sehari-hari seperti parfum, pakaian dan miras. Konon, De Vries ini adalah toko pertama yang menyediakan toilet umum bagi pengunjung, hehehe, sekarang jadi perlengkapan wajib toko-toko. Pada tahun 2010 kemaren diadakan re-(apa ya namanya untuk menghidupkan kembali bangunan ini yang selama bertahun-tahun menjadi tempat tinggal para tunawisma Bandung), pokoknya re-itulah. Dan, Voila, pada Festival Braga, Desember 2010, bangunan ini sudah cantik, mungkin secantik awal dibangunnya dulu, awal tahun 1910an, yang menghabiskan dana sekitar 20.000 Gulden.
Bank Indonesia Bandung
di ujung Jalan Braga satunya berdiri Bank Indonesia Bandung, yang merupakan satu dari 13 Bank Indonesia di seluruh wilayah Indonesia, dan seperti Gedung Bank Indonesia lainnya, Gedung Bank Indonesia Bandung memiliki bentuk yang khas dan layak untuk kami ceritakan di sini :)... Gedung ini terletak dibagian ujuang Jalan Braga, bersimpangan dengan Taman Merdeka/ Balai Kota (dulu bernama Pieter Sythol Park) dan berdekatan dengan Gereja Bethel, Katedral dan Polwiltabes Bandung. Gedung Bank Indonesia Bandung dibangun tahun 1915 – 1918 hasil rancangan Biro Arsitek Hulswit Fermond Ed Cuypers, sama dengan perancang Gedung BI dan BAT Cirebon. Seperti halnya gedung Bank Indonesia lainnya, gedung ini dulunya adalah kantor De Javasche Bank cabang Bandung dan beralih fungsi menjadi Bank Indonesia sejak tahun 1956. Di samping atau tepatnya disebelah apanya, belakangnya atau apa ini, karena gedung ini memiliki dua muka, menghadap ke Barat dan Selatan, terdapat bangunan gedung baru yang juga menjadi kantor Bank Indonesia Bandung. Gedung ini cukup unik dan sulit difoto karena dikelilingi oleh pagar hidup berupa tanamanan khas renaisance, serupa rumput yang tinggi dan rapi layaknya kastil-kastil Eropa :)
Kemegahan Braga masih terasa sampai saat ini, kalau kawan-kawan lewat di Jalan Braga pada malam minggu, serasa sedang berjalan-jalan di sudut Eropa (macaaaaam pernah kesana ^^). Di sepanjang trotoar banyak yang berfoto-foto, banyak juga yang menjual lukisan, ada toko souvenir, ada toko roti, ada cafe, ada CAREFOUR dan lain sebagainya. Di sepanjang jalan Braga, terdapat lampu-lampu jalan yang unik, klasik, jalan terbuat dari paving blok, bukan aspal tapi dipake lalu lalang kendaraan. Sayang sekali. Seandainya Braga menjadi tempat khusus bagi para pejalan kaki, mungkin akan nampak lebih indah lagi, ga macet, ga rusak jalannya, dan lain sebagainya. Itulah Braga, tempat berkumpulnya para muda-muda yang sedang Ngabar Raga (pamer aksi), tempat kita-kita Bragaderen (berparade) dan terserahlah mau ngapain lagi di Jalan Braga. Braga dari masa jayanya sampai saat ini, tidak akan pernah mati....^^

0 comments:

Post a Comment

Indonesia Barat