Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma| Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat |

RS. Dustira

Kawan-kawan pernah denger nama RS Dustira? Kalau yang tinggal di seputar Jawa Barat pasti pernah dengarlah ya, apalagi yang demen sama cerita-cerita berbau horor. Rumah sakit selalu identik dengan cerita syerem, apalagi rumah sakit yang didirikan lebih dari 200 tahun yang lalu. Sudah 200 tahun lebih menyaksikan orang mati silih berganti pastilah banyak ceritanya ya, dan terkadang orang yang mati emang betah tinggal di rumah sakit itu, jadinya terkadang suka nongol deh, hehehe.. ga Cuma Dustira, hampir semua rumah sakit memiliki cerita serupa. Tapi sebenarnya siapa si Dustira ini, begini ceritanya (auuuuuuuuuuuu, horor mode on ^^).


Kami mendapatkan sumber ini dari blognya Kang Mac yang mengutip tulisan Prof. Dr. Nina Herlina Lubis di Pikiran Rakyat. Dalam tulisannya disebutkan, Rumah Sakit Dustira dulunya adalah Rumah Sakit Militer Cimahi yang didirikan pada 1887, kalau dilihat di tembok depannya tertulis Anno 1887. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), rumah sakit ini dipergunakan sebagai tempat perawatan tawanan tentara Belanda dan perawatan tentara Jepang. Pada 1945-1947, rumah sakit ini dikuasai NICA. Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh pemerintah kerajaan Belanda (1949), Militaire Hospital diserahkan Belanda kepada TNI yang diwakili Letkol dr Rd K Singawinata. Sejak saat itu, namanya diubah menjadi RS Territorium III dan Singawinata diangkat sebagai kepala rumah sakit.




Pada Mei 1956, dalam rangka HUT Territorium III/ Siliwangi ke-10, RS itu diberi nama RS Dustira oleh Panglima Territorium III, Kolonel A Kawilarang, sebagai penghargaan terhadap jasa-jasa Mayor dr Dustira Prawiraamidjaya.

Siapakah Dustira? (jreng jreng jreng…) Dustira dilahirkan di Tasikmalaya pada 25 Juli 1919 sebagai anak Rd S Prawiraamidjaya. Pendidikan yang ditempuhnya dimulai di Europeesche Lagere School (ELS) di Bandung, kemudian dilanjutkan ke Hogere Burger School (HBS), lima tahun di Bandung. Selanjutnya ia menempuh pendididikan di Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta (Geneeskundige Hogeschool, di zaman Jepang disebut Ika Daigaku). Pada 1945, semua mahasiswa tingkat akhir Ika Daigaku, termasuk Dustira, menyatakan ingin turut berjuang di front Surabaya (bukan menjadi bonek ya, tapi waktu itu kan ada peristiwa 10 Nopember) yang sedang bergolak. Namun keinginan itu ditolak dan mereka diperintahkan menunggu perkembangan selanjutnya. Para mahasiswa tingkat akhir itu akhirnya lulus dan diberikan ijazah dokter, lalu dilatih kemiliteran di Tasikmalaya sekitar dua minggu.

Selesai pendidikan kemiliteran, dr Dustira ditugaskan ke Resimen 9 Divisi Siliwangi yang menguasai front Padalarang, Cililin, dan Batujajar. Waktu itu, semua serba kekurangan, baik personel maupun obat-obatan. Dustira berusaha siang malam (tanpa kenal lelah) menolong korban peperangan di front. Melihat banyaknya korban yang jatuh, baik sipil maupun pejuang, Dustira merasa sedih, karena tidak bisa memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya. Ketika terjadi kecelakaan kereta api di Padalarang dengan korban ratusan penumpang, Dustira berusaha menolong, namun obat-obatan terbatas. Melihat begitu banyak korban, tanpa dapat memberikan pertolongan yang memuaskan hatinya sebab kekurangan obat, mengakibatkan tekanan mental yang luar biasa bagi dr Dustira. Akhirnya karena kelelahan fisik dan mental, dr Dustira jatuh sakit. Ia dirawat di RS Immanuel di Situ Saeur Bandung. Namun jiwanya tidak tertolong lagi dan pada 17 Maret 1946, ia di meninggal dan dikebumikan di Pemakaman Umum Astanaanyar. Pada 8 Maret 1973, kerangkanya dipindahkan ke TMP Cikutra Bandung.
Dustira mati muda, usia 27 tahun dan namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit tempat dimana Dustira mengabdi. Tetapi, gosip yang beredar, Dustira meninggal bunuh diri. Iyye kah…? (upin dan ipin mode on, ^^). Ga ada yang tau pasti sebetulnya, Cuma beberapa info (masi dari blognya kang Mac) menyatakan Dustira meninggal secara misterius. Prof. Nina si menyatakan sakit, tapi apakah meninggal terbaring di rumah sakit karena sakitnya ataukah gimana? Hanya Tuhan dan orang yang ada disitu waktu itu yang tau…

63 tahun setelah meninggalnya Dustira, kami datang untuk mengunjungi Rumah Sakit Dustira (loh…apa hubungannya…haha ^^). Bangunannya bersih terawat dengan arsitektur Belanda. Di depannya rame lalu lintasnya. Buat kawan-kawan yang mau ambil gambar di situ hati-hati ya. Kamera kami standar, ga punya wide lens jadinya harus jungkir balik kalo mau dapet keseluruhan. Sebetulnya pengen liat patung Dustira yang di dalem, tapi ada salah satu dari kami yang pobia dengan rumah sakit, (bawaannya pengen pingsan kalo masuk rumah sakit) jadinya rencana itu batal. Jadi maap-maap kawan-kawan ga bisa mendeskripsikan keseluruhan bangunan dengan baik. Intinya itulah, rumah sakit ini keren, sudah tua tapi tetap mempesona…^^

Dari Dustira kawan-kawan bisa naik angkot sebetulnya ke Pura Agung medley Stasiun, tapi kalau kami lebih memilih jalan kaki, ga terlalu jauh kok, sekitar 10 – 15 menit mengikuti jalur depan Dustira. Setelah pintu perlintasan kereta api sebelah kanan jalan akan terlihat bangunan Pura Agung. Sebelum Pura Agung itu ada pertigaan yang kalau kita belok ke pertigaan itu sekitar 100 m sudah sampai Stasiun Cimahi. RS Dustira ini kami kunjungi setelah mengunjungi Pura Agung, kami berjalan dari Pura ke Dustira, waktu itu sudah siang sekitar pukul 13.30 dengan cuaca yang mendung hampir hujan.

0 comments:

Post a Comment

Indonesia Barat